Pamflet ini terinspirasi dari aksi pembakaran terhadap salah satu yang
dianggap menjadi simbol kapitalisme, yang terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta . Dengan mengesampingkan vandalisme yang
dilakukan, aksi tersebut memiliki semangat perlawanan revolusioner dan ideologi
yang tegas dan jelas dalam melawan ketidak-adilan yang sedang terjadi. Tulisan
ini kemudian mengorelasikan puisi-puisi karya Wiji Thukul yang memiliki visi
perjuangan yang sama secara langsung maupun tidak langsung dengan semangat
perlawanan revolusioner terhadap ketidak-adilan yang ada. Tulisan sederhana
ini, diharapkan dapat memberikan wacana lain yang mampu membawa kepada satu
perubahan kearah kebaikan bersama.
jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas
kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput
atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian
jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu
jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan
(Ucapkan Kata-Katamu)
Membaca sajak-sajak karya Wiji
Thukul seperti membaca langsung isi hati kaum yang selama ini terasingkan oleh
berbagai bentuk penindasan terorganisir kelompok yang merasa diri berkuasa.
Bagian terdalam dan paling tersembunyi dari penderitaan para proletariat mampu
diungkapkan dengan lugas oleh Thukul. Kata-kata yang bersahaja merupakan suatu
kekayaan yang tidak dimiliki oleh puisi-puisi 'molek' yang mengawang-awang. Dan
dari kesederhanaan itulah banyak menyimpan ide-ide serta berbagai gagasan yang
tidak ada pada puisi 'indah' biasanya. Puisi-puisinya yang dianggap merupakan
wujud perlawanan dari kelas tertindas mampu bersuara keras sebelum akhirnya
dibungkam oleh kebusukan dan kepicikan fasisme rezim penguasa.
Latar belakang kehidupan Thukul
yang berada di kelas sosial bawah mampu menyadarkannya bahwa kekuatan politik
dan kekuatan modal berada dibalik semua ketimpangan dan ketidakadilan yang ada.
Dan semua itu bukan untuk diterima 'legowo' - begitu saja. Ada sisi lain yang menolak untuk bersikap
pasrah, yakni hati nurani dan kemanusiaan. Di satu sisi, moral semu menuntut
orang-orang 'kecil' seperti Thukul untuk senantiasa tunduk dan bersikap
'manis', namun di sisi lain, segala ketundukan tadi dibalas dengan
kesewenang-wenangan oleh penguasa yang represif. Maka menjeritlah kata-kata
ketika tubuh yang lemah itu diinjak. Tidak hanya diam ketika kekuasaan yang
sombong melindas segala peri kehidupan.
Thukul sadar betul akan posisi
seni yang memiliki kekuatan politik. Seniman, disamping kaum intelek, adalah
manusia-manusia yang seharusnya peka dan memiliki solidaritas untuk bergerak
melawan satu tata nilai yang bersifat menindas dan menekan rakyatnya.
Sebagaimana dahulu Lekra bergerak melawan humanisme semu yang semakin
menidurkan rakyat dalam mimpi buruk penindasan manusia atas manusia lainnya.
Seniman bukan insan-insan yang harus tunduk begitu saja dan menjadikan ruang
keseniannya hanya sebagai pelarian belaka. Sehingga seni yang mengutip berbagai
bentuk ketimpangan sosial kemudian dianggap berbahaya terhadap kelangsungan
kekuasaan diktator yang senantiasa mengatasnamakan senjata dan modal kaum
kapital.
Tulisan sederhana ini bukan
bermaksud menghujat dan mencemooh habis-habisan suatu rezim yang pernah
langgeng berkuasa. Namun jauh daripada itu, ingin melihat sisi kesahajaan
karya-karya sastra Thukul yang dibalik semua itu memiliki pemahaman ideologis
yang mendalam terhadap pembangkangan keras terhadap satu model - sistem politik
ekonomi yang sudah sejak lama mencengkeram dan menciptakan kelas tertindas.
Entah karena kebetulan, baik itu disadari maupun tidak, karya Thukul yang
sebenarnya bermaksud membela diri pribadinya mampu dijadikan satu bentuk
perlawanan yang mengatakan kepada semua rakyat tertindas bahwa semua 'tidak'
baik-baik saja.
ALIENASI BERNAMA
KETIMPANGAN SOSIAL
Dalam masyarakat kapitalis
sekarang ini, dimana dahulu kolonialisme menciptakan banyak kaum budak dari
orang-orang pribumi - yang setelah bebas dari perbudakan, mereka menjadi
proletar, tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga untuk kerja untuk dijual -
membuat para pemilik modal semakin dominan terhadap kelas pekerja dalam
memperlakukan kelas pekerja sebagai komoditas. Mereka dieksploitasi untuk
menghasilkan keuntungan yang lebih besar dan semakin membesar seiring
penghisapan yang terus berlangsung terhadap kaum pekerja. Dengan kepemilikannya
atas modal - alat-alat produksi yang absolut, pemilik modal menciptakan relasi
ekonomi yang menindas kaum pekerja yang hanya memiliki tenaga untuk dijual.
Selain itu, kekuasaan negara yang
serta merta berpihak kepada para pemilik modal, yang dengannya kekuasaan itu
akan semakin lama lagi berkuasa, memaksa proletariat tidak mampu berbuat
apa-apa dan menerima semuanya sebagai hadiah dari Tuhan. Penindasan yang sudah
diwariskan dari generasi ke generasi memunculkan pemahaman bahwa jalan takdir
sudah digariskan demikian dan mereka tidak berhak menggugat terhadap segala
ketimpangan yang ada. Maka tidak heran muncul jurang perbedaan yang sangat
dalam antara pemilik modal dengan kelas pekerja. Relasi keduanya yang 'aneh'
digambarkan oleh Thukul dengan kata-kata yang sederhana dalam puisinya:
udara ac asing di tubuhku
mataku bingung melihat
deretan buku-buku sastra
dan buku-buku tebal intelektual
terkemuka
tetapi harganya
o aku ternganga
musik stereo mengitariku
penjaga stand cantik-cantik
sandal jepit dan ubin mengkilat
betapa jauh jarak kami
uang sepuluh ribu di sakuku
di sini hanya dapat 2 buku
untuk keluargaku cukup buat
makan seminggu
gemerlap toko-toko di kota
dan kumuh kampungku
dua dunia yang tak pernah bertemu
(Catatan)
beli karcis di loket
pengemis tua muda anak-anak
mengulurkan tangan
masuk arena corong-corong berteriak
udara terang benderang tapi sesak
di stand perusahaan rokok besar
perempuan montok menawarkan dagangannya
di stand jamu tradisionil
kere-kere di depan video berjongkok
nonton silat mandarin
di dalam gedung wayang wong
penonton lima
belas orang
ada pedagang kaki lima
yang liar dan tak berizin
setiap saat bisa diusir keamanan
(Pasar Malam
Sriwedari)
Kaum-kaum terpinggirkan dipaksa
pasif dan menjadi kelas pekerja yang jinak yang memiliki disiplin yang tinggi
terhadap rezim modal dan tidak lagi memiliki spirit perlawanan. Mereka dipaksa
menjadi motor penggerak kehidupan industri masyarakat kuasa modal. Bagi mereka,
menyerah dan mengikuti saja sistem yang ada merupakan jawaban, daripada harus hidup
lebih buruk lagi, menjadi gelandangan. Ketundukan inilah yang menjadi doktrin
abadi yang harus ditaati daripada harus menanggung dosa kehidupan yang
memilukan.
di belakang gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas tidur di mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
jika kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana
ada restoran
kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
bakmi ayam dan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang
kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri
apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!
(Kota Ini Milik Kalian)
GLOBALISASI -
KEJAHATAN KORPORASI
Pada malam itu kami berkumpul dan berbicara
Dari mulut kami tidak keluar hal-hal yang besar
Masing-masing berbicara tentang keinginannya
yang sederhana dan masuk akal
di rumah kontraknya
Dan itu mengingatkan yang lain
bahwa mereka juga belum punya panci, kompor,
gelas minum dan wajan penggoreng
Mereka jadi ingat bahwa mereka pernah
ingin membeli barang-barang itu
Tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur
oleh keletihan kami
Dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
Ternyata banyak di antara kami yang masih susah
menikamati teh hangat
Karena kami masih pusing bagaimana mengatur
letak tempat tidur dan gantungan pakaian
Dari situ pembicaraan meloncat ke soal harga semen
dan juga cat tembok yang harganya tak pernah turun
Kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum
yang sudah berlalu
Tiga partai politik yang ada kami simpulkan
Tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
Mereka hanya memanfaatkan suara kami
demi kedudukan mereka
Kami tertawa karena menyadari
Bertahun-tahun kami dikibuli
dan diperlakukan seperti kerbau
Akhirnya kami bertanya
Mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam
Mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
untuk menyekolahkan anak-anaknya
Padahal mereka tiap hari menghasilkan
berton-ton barang
Lalu salah seorang di antara kami berdiri
Memandang kami satu-persatu kemudian bertanya:
'Adakah barang-barang yang kalian pakai
yang tidak dibikin oleh buruh?'
Pertanyaan itu mendorong kami untuk mengamati
barang-barang yang ada di sekitar kami:
neon, televisi, radio, baju, buku...
Sejak itu kami selalu merasa seperti
sedang menghadapi teka-teki yang ganjil
Dan teka-teki itu selalu muncul
ketika kami berbicara tentang panci-kompor-
gelas minum-wajan penggoreng
Juga di saat kami menghitung upah kami
yang dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
Kami selalu heran dan bertanya-tanya
Kekuatan macam apakah yang telah menghisap
tenaga dan hasil kerja kami?
(Teka-teki yang
Ganjil)
Pertanyaan dan teka-teki yang
muncul dalam pergulatan berbagai pemikiran pada puisi Thukul tersebut
sesungguhnya merupakan satu titik terang dimana kaum pekerja - dalam hal ini
buruh pabrik - telah menyadari akan keberadaannya yang tertindas. Pergolakan
batin yang kemudian dituliskan ke dalam sajak tersebut menjadi satu bentuk
perlawanannya. Kesadaran semacam ini sebagaimana yang pernah diusung Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang memiliki pemahaman "Seni Untuk Rakyat" dengan
gerakan Turba - Turun ke Bawah. Bedanya, Thukul tidak melakukan turun ke bawah
- secara harafiah, karena memang ia sudah hidup dari kelas sosial bawah. Dan kesadaran
Thukul yang berasal dari kelas bawah untuk "berke-Seni-an Untuk
Rakyat" itulah yang harus digaris-bawahi.
Kelas borjuis - kelas yang
berkuasa - dan proletar - kelas pekerja - adalah hasil dari rantai pertumbuhan
sejarah yang panjang. Proses sejarah ini oleh Karl Marx disebut sebagai "pengambil-alihan
asal terhadap para produsen" - proses dan rangkaian kejadian serta perlawanan
dimana kemudian produsen dipisahkan dari alat produksi. Kapitalis dan kaum pekerja
tidak muncul secara alamiah. Kelas sosial tidaklah jatuh dari langit atau
tumbuh begitu saja dari dasar bumi.
Alat produksi - mencakup
mesin-mesin, bangunan, bahan dasar, sumber daya alam, dan hal-hal lain yang
dibutuhkan produksi - sebagai sumber produksi, secara aktif digabungkan dengan energi
manusia sebagai tenaga kerja. Ketika sumber produksi dikontrol secara langsung
oleh produsen, tenaga kerja dan alat produksi dikombinasikan secara organis.
Sebagai contoh, seorang petani yang menanam padi. Apabila kebutuhannya atas
alat-alat dan bahan material untuk produksinya telah tercukupi atas
kepemilikannya pada benda-benda tersebut, maka ia dengan mudah dapat mewujudkan
tujuan produksinya dengan menggunakan secara efektif seluruh sumber-sumber
produksi tersebut. Hasil produksinya pun mencukupi diri sendiri dan bersifat independen.
Namun ketika alat-alat produksi
diambil dan dipisahkan dari produsen untuk kemudian dikuasai kepemilikannya
oleh kaum kapitalis, maka tanpa alat produksi, produsen tak memiliki apa-apa kecuali
tenaga kerja. Para produsen akhirnya harus
menjual tenaga kerja yang tersisa sekedar untuk bertahan hidup dan berakhirlah
sebagai kaum proletar. Sementara itu, Kaum kapitalis menyatukan kembali tenaga
kerja dan alat-alat produksi dengan cara yang berbeda. Kaum proletar
menggantungkan pekerjaan, kesempatan hidup dan aksesnya terhadap alat produksi kepada
para kapitalis yang menguasai alat-alat produksi dan memiliki kontrol penuh
atasnya, serta memungkinkan kelas kapitalis untuk membeli dan memiliki tenaga
kerja. Kaum pekerja yang teralienasi - produsen langsung yang dipisahkan dari alat-alat
produksinya – inilah prasyarat dasar atas eksploitasi terhadapnya oleh kaum
pemilik modal.
Kaum pekerja yang hanya mempunyai
tenaga menjual kemampuannya dengan bekerja untuk uang, untuk gajinya, sebagai
alat mencukupi kebutuhan hidupnya, bukan untuk hobby. Sementara para pemilik modal, memiliki uang untuk membeli
komoditas dan memiliki akses penuh terhadap alat-alat produksi agar
menghasilkan produk-produk untuk kemudian menjualnya dan memperoleh keuntungan.
Pemilik modal membeli untuk menjual kembali. Tidak untuk meraup jumlah uang
yang sama, tetapi uang yang jumlahnya jauh lebih besar.
Lalu dimanakah letak
penghisapannya? Secara sederhana, ketika uang adalah super komoditas yang mampu
membeli apa saja untuk melakukan suatu proses produksi, maka kemampuan manusia bekerja
atau tenaga kerja adalah super-super komoditi. Uang tetap membeli tenaga kerja
agar dapat memperoleh keuntungan dan nilai-lebih. Hanya dengan memiliki tenaga
kerjalah uang dapat berubah menjadi modal. Kapitalis bergantung pada komodifikasi
atas tenaga kerja. Sehingga jika memasuki pasar akan ditemukan satu set pembeli
(pemilik uang, tanah, mesin-mesin) dan satu set penjual (tenaga kerja). Dan
akan ditemukan satu kelas yang membeli secara terus menerus untuk mendapatkan
semakin banyak keuntungan-kekayaan, sementara kelas lainnya terus menerus
menjual tenaga kerja hanya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Bentuk "norma" dari
produksi yang berlaku sekarang ini - terdapat tiga hal, yakni; Kemerdekaan,
pembeli (pemilik modal) maupun penjual (kaum pekerja) ditentukan oleh keinginan
bebas diri mereka sendiri dan dipandang sebagai manusia merdeka yang sama di
mata hukum; Kesamaan, satu sama lain dihubungkan sebagai pemilik dari komoditas
dan saling bertukar secara seimbang; Kepemilikan, seseorang hanya mengatur
apa-apa yang dimilikinya - oleh para pemilik modal digunakan untuk
mendisiplinkan tenaga kerja. Ketika produksi-produksi kapitalistik semakin
stabil, 'paksaan halus' tersebut semakin berjalan baik untuk melanggengkan
dominasi pemilik modal terhadap kelas pekerja. Para
pekerja dengan aman dapat ditinggalkan pada kebijakan dunia produksi,
sehubungan dengan ketakutan atas pengangguran, kelaparan dan kekurangan. Kelas
pekerja tidak dihadapkan pada pilihan selain menjual diri sebagai tenaga kerja.
Warsini! Warsini!
apa kamu sudah pulang kerja Warsini
apa kamu tidak letih
seharian berdiri di pabrik Warsini
ini sudah malam Warsini
apa celana dan kutangmu digeledah lagi
karena majikanmu curiga
kamu menyelipkan moto
ini malam minggu Warsini
berapa utangmu minggu ini
apa kamu bingung hendak membagi gaji
apakah kamu masuk salon
potong rambut lagi
ayolah Warsini
kawan-kawan sudah datang
kita sudah berkumpul di sini
kita akan latihan sandiwara lagi
kamu nanti jadi mbok Bodong
si Joko biar jadi rentenirnya
jangan malu Warsini
jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu
sebab mas Yanto juga tidak sekolah Warsini
ia pun cuma tukang plitur
Mami juga tidak sekolah
kerjanya cuma mbordir sapu tangan di rumah
Wahyuni juga tidak sekolah
bapaknya tak kuat mbayar uang pangkal SMA
Partini? ia pun penjahit pakaian jadi
di perusahaan konveksi milik tante Lili
ayolah Warsini
ini malam minggu Warsini
kami menunggumu di sini
kita akan latihan sandiwara lagi
(Ayolah Warsini)
Meski kelas pekerja bisa bertahan
atas tirani modal dengan berbagai cara, semuanya dilakukan dengan resiko
pribadi yaitu pekerja bisa dipecat. Pemilik modal dapat begitu saja menolak
untuk membeli tenaga kerja. Dengan demikian, pekerja juga dipisahkan dari
kemungkinan untuk bertahan hidup. Secara tidak langsung, hukum berpihak kepada
pemilik modal, bagaimanapun, ia membeli tenaga kerja dengan legal dan dengan
bebas bisa ia gunakan sekehendaknya.
Adalah fakta yang luar biasa
aneh, ketika para pekerja mampu menghasilkan komoditas yang jauh lebih berharga
daripada kaum pekerja itu sendiri. Membayar pekerja untuk nilai atas tenaga
kerjanya membutuhkan uang yang lebih sedikit ketimbang yang akan diraup oleh
sang kapitalis pemilik modal dari keuntungannya menjual produk.
di ujung sana
ada pabrik roti
kami beli yang remah-remah
karena murah
di ujung sana
ada tempat
penyembelihan sapi
dan kami kebagian bau
kotoran air selokan dan tai
di ujung sana
ada perusahaan
daging abon
setiap pagi kami beli kuahnya
dimasak campur sayur
di pinggir jalan
berdiri toko-toko baru
dan macam-macam bangunan
kampung kami di belakangnya
riuh dan berjubel
seperti kutu kere kumal
terus berbiak!
membengkak tak tercegah!
(Gumam Sehari-hari)
Dibutuhkan pembahasan lebih
mendalam untuk menjabarkan tentang bagaimana semua penghisapan yang terjadi
terhadap kelas pekerja oleh kaum pemilik modal itu sehingga bisa dianggap
lumrah. Diatas semua hal itu, segalanya tidak terjadi tiba-tiba dan tidak
secara alamiah tercipta demikian. Ketimpangan-ketimpangan yang ada, membuktikan
bahwa tidak ada individu yang menginginkan tercipta untuk seumur hidup dihisap
sementara ada individu lain yang terus-menerus mengeruk keuntungan. Melalui
puisinya, Thukul telah membangun kesadaran bahwa segala ketimpangan yang sedang
berlangsung adalah tidak semestinya.
Globalisasi dan perdagangan bebas
- perpanjangan tangan kaum pemilik modal - telah menciptakan semakin banyak
penghisapan terhadap kaum pekerja. Penghisapan tersebut berlangsung dengan
sangat terorganisir, meluas tanpa batas negara dan semakin tak terbendung.
Bahkan berhasil diturunkan dan diwariskan ke generasi di bawahnya. Pemilik
modal suatu negara akan berhasrat tinggi untuk menanamkan modalnya di negara
lain, terutama di negara-negara yang miskin. Peluang pasar yang terbuka segar,
kesempatan berinvestasi, para pekerja dengan upah yang murah dan sumber alam
yang lengkap tersedia, ditambah dengan rekayasa politik dan pengaruh militer
semakin melebarkan sayap kapitalis dimana-mana.
Semakin hebat suatu korporasi
menjalankan bisnisnya, maka akan semakin hebat pula penghisapan yang
dilakukannya. Tidak hanya kepada para pekerja, banyak rakyat yang juga akan menderita
dan menjadi korbannya. Kekuasaan negara yang berpihak kepada pemilik modal, semakin
memperparah segala ketertindasan rakyat. Korporasi senantiasa memikirkan
bagaimana mengembangkan dan memperluas usahanya - penghisapannya, sementara
rakyat hanya bisa memikirkan bagaimana mengusahakan kebutuhan sehari-harinya.
ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli apa-apa
lihat-lihat saja
kalau pengin durian
apel pisang rambutan atau anggur
ayo
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota
kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
kalau pengin lihat orang cantik
di kota
kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama dari ibukota
lihat
mobil para tetamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
(Nonton Harga)
Upah kerja yang minim, yang hanya
mampu untuk mereposisi tenaga para pekerja agar esok dapat kembali bekerja,
tidak mampu mengangkat para pekerja ke kehidupan yang lebih baik, bagaimanapun
kerasnya tulang para pekerja dibanting. Sementara para kuasa modal dengan akumulasi
keuntungan yang diperolehnya mampu untuk terus berkembang menghasilkan modal
baru dan semakin memperpanjang-memperluas penghisapannya. Demikian,
bagaimanapun dengan apa yang dinamakan Corporate
Social Responsibility banyak dilakukan para pemilik modal, korporasi ada untuk
keuntungan.
Berbagai permasalahan sosial yang
terjadi, boleh jadi diakibatkan oleh cara kerja sistem kapital yang
eksploitatif. Tidak hanya eksploitasi terhadap tenaga kerja, korporasi bahkan mengabaikan
keseimbangan sumber daya alam dan lingkungan. Sumber-sumber alam yang diambil untuk
digunakan dalam proses produksi juga diekploitir dan dijarah habis-habisan
tanpa memperhatikan keberlangsungannya kemudian. Ekses dari proses produksi
yang serampangan terkadang memiliki dampak yang juga merusak, terutama terhadap
keseimbangan lingkungan. Prinsip untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan
telah mendorong korporasi melakukan banyak kejahatan sosial.
lingkungan kita si mulut besar
dihuni lintah-lintah
yang kenyang menghisap darah keringat tetangga
dan anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri para penganggur
yang mabuk minuman murahan
lingkungan kita si mulut besar
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur filem-filem kartun amerika
perempuannya disetor
ke mesin-mesin industri
yang membayar murah
lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak
mencret oli dan logam
busa dan plastik
dan zat-zat pewarna yang merangsang
menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
yang mengulum es
limapuluh perak
(Lingkungan Kita Si
Mulut Besar)
'RAKYAT BUTUH TANAH'
DAN TENTANG AGRARIA
Ide lain yang digagas Thukul
dalam puisinya adalah mengenai agraria. Communist
Manifesto (1848) yang diterbitkan oleh Karl Marx dan Friederich Engels dengan
mengatasnamakan kelompok kaum buruh idealis, dalam salah satu tuntutannya
menghendaki penghapusan kepemilikan tanah dan penggunaan seluruh tanah sewa
untuk kepentingan publik. Communist
Manifesto, salah satu dokumen politik terpenting dan berpengaruh dalam
sejarah yang otoritas dan prestisenya diakui banyak orang, hingga kini tetap
merupakan bentuk dasar bagi sistem politik yang memotivasi jutaan orang.
Sayangnya di Indonesia, sejarahnya tidak pernah tertulis dalam buku pelajaran
sekolah sebagaimana kurikulum picik menuliskan Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat dan Declaration of Right (1789) di Perancis.
Communist Manifesto, yang memprioritaskan sektor pertanian - selain
industri - menghendaki pengolahan tanah terlantar dan perbaikan tanah sesuai
dengan suatu rencana bersama. Tanah menjadi milik bersama, secara struktural
diolah untuk kepentingan publik. Semua orang memiliki kewajiban yang setara
untuk bekerja.
tanah mestinya dibagi-bagi
jika cuma segelintir orang
yang menguasai
bagaimana hari esok kaum tani
tanah mestinya ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini
jika sawah diratakan
rimbun semak pohon dirubuhkan
apa yang kita harap
dari cerobong asap besi
hari ini aku mimpi buruk lagi
seekor burung kecil menanti induknya
di dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi
(Tanah)
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
(Tentang Sebuah
Gerakan)
Modal ketika diinvestasikan akan
meningkatkan nilai lebih. Nilai lebih ini memiliki tiga bentuk dasar: profit
(keuntungan), bunga dan sewa. Nilai lebih berupa profit merupakan milik langsung
pemilik modal yang dapat digunakan dalam dua cara; sebagai deviden - kesenangan
pribadi dan bisa sebagai modal baru. Kemudian, nilai lebih berupa bunga akan
didapatkan ketika pemilik modal meminjamkan sebagian modalnya - yang biasanya
berupa uang. Dan terakhir, nilai lebih berupa pembayaran sewa akan didapatkan
ketika pemilik modal meminjamkan modalnya yang berupa tanah atau bangunan. Mengejar
keuntungan (nilai lebih) membuat sistem bertahan dan terus melaju. Uang telah membuktikan
kemampuannya untuk berkembang, menunjukkan kekuatan untuk meningkatkan diri
dengan sendirinya.
Kepemilikan dan penguasaan modal
berupa tanah yang tidak dibatasi memunculkan permasalahan lainnya. Pemilik
modal mampu memiliki dan menguasai tanah sepenuhnya, sementara buruh tani hanya
memiliki tenaga untuk bekerja mengolah tanah yang bukan miliknya. Relasi ketergantungan
ini akan berlangsung terus hingga pemilik tanah bisa mengembangkan kepemilikannya
atas tanah lainnya, sementara buruh tani hanya dapat memenuhi kebutuhan hariannya
dengan upah kerja mengolah tanah milik orang lain tanpa bisa memiliki apa-apa.
Tanah seharusnya tidak dikuasai
oleh segelintir individu sementara individu yang sebenarnya mampu
mengefektifkannya tidak memiliki kontrol sama sekali terhadap tanah yang
diolahnya.
'MENYOAL' BURUH
Pemilik uang membeli dua jenis
komoditas untuk menggerakkan roda produksi, para buruh dan alat produksi. Uang,
seterusnya akan berfungsi dalam dua cara; pertama, untuk membeli tenaga manusia
hidup, dan kedua, untuk membeli sumber-sumber produksi, yaitu bagian-bagian
dari suatu produk yang sebelumnya adalah juga hasil tenaga manusia. Nilai-lebih
akan dihasilkan dari penggunaan satu diantara dua komoditas ini, yaitu tenaga
kerja. Alat produksi memang menambahkan nilai, tetapi tidak sebagaimana tenaga
kerja menubuhkan nilai terhadap produk.
Produksi modal cenderung untuk
bergantung semakin besar pada meningkatnya kekuatan alat-alat produksi.
Produktivitas berkembang seiring berkembangnya teknologi. Dan sejarah menulis,
alasan yang paling utama dari cepatnya pertumbuhan kepemilikan alat produksi
para kapitalis adalah kompetisi. Ketika pemilik modal memutuskan untuk membeli
tenaga kerja dan alat-alat produksi untuk melakukan proses produksi, dia
mengambil keputusan penuh resiko, tentu saja ada pemilik modal lain yang
bergerak dalam proses produksi sejenis dan semakin sedikit kemungkinan pasar
yang ada.
Untuk mendapatkan ruang yang
lebih besar di pasar dibandingkan pesaingnya, pemilik modal harus menjual
barang-barangnya semurah mungkin. Berbagai cara memotong waktu kerja produksi dilakukan
untuk memangkas harga agar dapat menjual produk lebih murah dibanding
pesaingnya, tanpa harus menjual barang-barang produksinya lebih murah dari
harga yang dikandungnya. Intinya, kompetisi memaksa modal untuk digunakan
dengan semakin kecil waktu produksi per komoditas. Kompetisi menjadi semacam medan peperangan, pemotongan
harga adalah juga cara untuk 'membunuh' pesaing-pesaingnya.
Sementara upah itu sendiri
melindungi eksploitasi terhadap para pekerja, membuat sistem penjualan tenaga
kerja menjadi tampak penting dan perlu. Ada
prasangka dominan bahwa upah telah membayar untuk apa yang dilakukan oleh para
pekerja dan bukan tenaga kerja mereka. Dalam kenyataannya, buruh tidak dibayar
untuk kerja mereka. Produksi kapitalis didasarkan pada eksploitasi. Sekali
'tenaga kerja' terjual, para pemilik modal akan menggunakan tenaga kerja itu
seenaknya. Buruh dibayar tidak untuk kerja mereka sendiri, bahkan tidak karena kegunaan
atau 'rata-rata sosial', tapi untuk rata-rata waktu kerja yang terkonstruksi
secara sosial, yang diperlukan hanya untuk mengembalikan kekuatan tenaga kerja
agar esok hari dapat bekerja sekeras hari ini.
Thukul mendeskripsikan berbagai
bentuk ketertindasan buruh melalui sajak-sajaknya yang lain.
Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat amben-nya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
(Suti)
di sini terbaring
mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya tergusur
di tanah ini
terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap Pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah!
(Kuburan Purwoloyo)
bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
anak dipisuhi ibunya
suami istri ribut-ribut
bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
kiri kanan ribut
anak-anak menangis
suami istri bertengkar
silih berganti dengan radio
orang-orang bergegas
rebutan sumur umum
lalu gadis-gadis umur belasan
keluar kampung menuju pabrik
pulang petang
bermata kusut keletihan
menjalani hidup tanpa pilihan
dan anak-anak terus lahir berdesakan
tak mengerti rumahnya di pinggir selokan
bermain di muka genangan sampah
di belakang tembok-tembok
menyumpal gang-gang
berputar dalam bayang-bayang
mencari tanah lapang
(Kampung)
Kesadaran kritis Thukul terbangun
seiring kehidupan pribadinya yang terus-terusan dicekam kesulitan akibat
kondisi dan situasi sosialnya dan orang disekitarnya. Situasi itu bukan tidak
disengaja, melainkan telah terorganisir dan secara struktur mampu menggilas
setiap individu yang tidak bisa dan tak mau tunduk terhadapnya. Kapitalis dan
kongkalikongnya terhadap negara, memaksa rakyat yang tak berdaya semakin
terjerat dalam kesengsaraan. Kekayaan sumber daya yang ada hanya dikuasai dan
dinikmati segelintir individu. Rakyat kecil - terutama kaum buruh yang hanya
memiliki tenaga untuk kerja, sehari-hari dihadapkan pada upah kerja yang tidak
mencukupi kebutuhannya untuk makan, sandang dan tempat tinggal; tidak adanya
jaminan kesehatan; jaminan pendidikan dan masa depan bagi anak-anaknya;
sementara seumur hidup telah dihabiskannya untuk bekerja keras.
Di awal-awal kapitalisme di
Inggris, ketika modal telah terorganisasi sementara tidak demikian halnya
dengan para buruh, banyak cerita kejam tentangnya. Ribuan anak-anak berusia antara
7-12 tahun telah dipaksa bekerja sampai mati - dipaksa bekerja sejak matahari
terbit hingga tengah malam, bahkan terkadang lebih larut lagi. Kuasa modal
begitu lapar dan menghisap buruh sampai pada jumlah kematian yang sangat besar.
Sementara di dalam sistem
pendidikan pun, kapitalisme menancapkan kekejamannya. Pendidikan yang
seharusnya dijamin penuh oleh negara, lagi-lagi harus diambil-alih kendalinya
dan tunduk pada kuasa uang. Sekolah yang seharusnya mampu mendidik dan
menciptakan kaum terdidik yang kritis yang kelak mampu mengentaskan negara dari
berbagai permasalahan bangsa, nyatanya dimanfaatkan oleh kekuasaan uang untuk
menciptakan individu-individu yang siap diperintah untuk kemudian menjalankan
berbagai roda industri kapitalis. Sekolah hanya menciptakan komoditas yang siap
digunakan untuk keberlangsungan masyarakat kapitalis. Hal ini tidak berbeda
dengan kolonialisme Hindia Belanda. Dahulu, rakyat dicetak menjadi kaum
terdidik untuk menempati posisi-posisi tertentu yang menuntut keahlian khusus
demi kepentingan kolonial Belanda. Sekarang, rakyat belajar di bangku sekolah
untuk memenuhi kebutuhan industrialis kaum kapital akan tenaga kerja.
Selain itu, substansi dari
bersekolah pun hanya berdasarkan keperluan dan kebutuhan kapitalisme. Sistem
pendidikan dan berbagai unsur yang terkandung di dalamnya telah diatur sedemikian
rupa agar sesuai dengan keinginan kapitalis. Tidak heran, anak-anak sekolah didoktrin
dan dipaksa untuk menerima hal-hal tertentu saja yang sesuai dengan kemauan kapitalis
untuk keberlangsungan sistemnya yang culas, tanpa boleh memahami esensi dan
tujuan sebenarnya. Sekali lagi, Thukul yang tidak pernah tamat sekolah menengah
tingkat atas ini, menyadari akan kebusukan sistem pendidikan yang semacam ini
melalui puisinya.
pada masa kanak-kanakku
setiap jam tujuh pagi
aku harus seragam
bawa buku harus mbayar
ke sekolah
katanya aku bodoh
kalau tidak bisa menjawab
pertanyaan guru
yang diatur kurikulum
aku dibentak dinilai buruk
kalau tidak bisa mengisi dua kali dua
aku harus menghapal
mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf
aku harus tahu siapa presidenku
aku harus tahu ibukota negaraku
tanpa aku tahu
apa maknanya bagiku
pada masa kanak-kanakku
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
aku tidak boleh menguap di kelas
aku harus duduk menghadap papan di depan
sebelum bel tidak boleh mengantuk
tapi
hari ini
setiap orang boleh memberi pelajaran
dan aku boleh mengantuk
sarang jagat teater
19 januari 88
(Kenangan Anak-Anak
Seragam)
Kritik Thukul terhadap sistem
demokrasi dengan sangat menarik dituliskan ke dalam sebuah sajaknya berjudul Reportase dari Puskesmas. Gambaran
pemikiran sederhana dari rakyat kecil terhadap sistem demokrasi yang tidak
berpihak kepada rakyat, ditulis bernada menyentil dan mengusik. Inilah sebuah
kejujuran dari suara hati rakyat kecil yang mendambakan kehidupan sejahtera
berkeadilan. Penyakit kemiskinan telah membawa semuanya kepada demokrasi yang semu.
Tidaklah muluk-muluk kiranya keinginan rakyat, mereka ingin hidup pantas.
barangkali karena ikan laut yang kumakan ya
barangkali karena ikan laut, seminggu ini
tubuhku gatal-gatal ya gatal-gatal
karena itu dengan lima
ratus rupiah aku daftarkan
diri ke loket, ternyata cuma seratus lima puluh
murah sekali o murah sekali! lalu aku menunggu
berdiri. bukan aku saja. tapi berpuluh-puluh
bayi digendong. orang-orang batuk
kursi-kursi tak cukup maka berdirilah aku.
"sakit
apa pak?"
aku bertanya kepada seorang bapak berkaos lorek
kurus. bersandal jepit dan yang kemudian mengaku
sebagai penjual kaos celana pakaian rombeng
di pasar johar.
"batuk
pilek pusing sesek napas
wah! campur
jadi satu nak!"
bayangkan tiga hari menggigil panas tak tidur
ceritanya kepadaku. mendengar cerita lelaki itu
seorang ibu (40 th) menjerit gembira:
"ya
ampun rupanya bukan aku saja!"
di ruang tunggu terjejal yang sakit pagi itu
sakit gigi mules mencret demam semua bersatu.
jadi satu. menunggu.
o ya pagi itu seorang tukang kayu sudah tiga
hari tak kerja. kakinya merah bengkak gemetar
"menginjak
paku!" katanya, meringis.
puskesmas itu demokratis sekali, pikirku
sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam,
tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
ya semua disuntik dengan obat yang sama.
ini namanya sama rata sama rasa.
ini namanya setiap warganegara mendapatkan haknya
semua yang sakit diberi obat yang sama!
(Reportase dari
Puskesmas)
HIDUP DALAM TEKANAN
DAN KEKERASAN NEGARA
Uang sebagai super komoditas
dengan semua mitos kekuatannya di tingkat tertinggi mampu untuk membeli
kekuasaan negara. Dengan kekuasaan dan otoritas negara, pemilik modal menggunakannya
untuk memperbesar dan melindungi aset-aset yang dimiliki. Sementara negara
dengan semua alat kuasanya melindungi dan menjamin keberlangsungan kapitalis
pemilik modal untuk terus menghisap dan menindas proletar. Negara dengan
kekuasaan dan hak pengelolaan yang dimilikinya seharusnya melindungi
kepentingan seluruh rakyatnya, bukan cuma menjamin kepentingan beberapa
individu saja. Kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya tidak luput juga
dari pengamatan Thukul yang dituliskan ke dalam puisi-puisinya. Bahkan
sepanjang sisa usia dijalaninya menghadapi berbagai bentuk tindakan represif oleh
negara.
Negara dengan kekuatan birokrasi
senjata mampu memberangus segala bentuk perlawanan menentang penindasan kuasa
modal terhadap para pekerja. Tentu masih teringat dalam benak kita tentang
kasus Marsinah, seorang buruh perempuan di sebuah pabrik jam di Sidoarjo yang
harus gugur di tangan apparatus represif negara demi memperjuangkan hak
kenaikan upah sebesar Rp 550,-. Negara yang seharusnya melindungi hak rakyatnya,
nyatanya abai, bahkan berbalik melawan rakyatnya sendiri.
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana
bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
(Sajak Suara)
seekor tikus
pecah perutnya
terburai isinya
berhamburan dagingnya
seekor tikus mampus
dilindas kendaraan
tergeletak
di tengah jalan
kaki dan ekor terpisah dari badan
darah dan bangkainya
menguap
bersama panas aspal hitam
siapa suka
melihat manusia dibunuh
semena-mena
ususnya terburai tangannya terkulai
seperti tikus selokan
mampus
digebuk
dibuang
di jalan
dilindas kendaraan
kekuasaan sering jauh lebih ganas
ketimbang harimau hutan yang buas
korbannya berjatuhan
seperti tikus-tikus
kadang tak berkubur
tak tercatat
seperti tikus
dilindas
kendaraan lewat
siapa suka
harkat manusia
senilai tikus
diburu
digebuk
ditembak
seperti tikus
siapa mau
disamakan dengan tikus
didudukkan
di kursi terdakwa
dituding tuan jaksa
ingin menggulingkan negara
hanya karena berorganisasi
dan punya lain pendapat
kau bersedia
diumpamakan
seperti tikus?
(Tikus)
di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah ya karena upah
di ciroyom ada kawan sodiyah
si lakinya terbaring di amben kontrakan
buruh pabrik teh
terbaring pucet dihantam tipes
ya dihantam tipes
juga ada neni
kawan bariyah
bekas buruh pabrik kaos kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat ya dia dipecat
kesalahannya: karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dironsen pasti nampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak ya amoniak
di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemes ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya 24 jam
di majalaya ada kawan eman
buruh pabrik handuk dulu
kini luntang-lantung cari kerjaan
bini hamil tiga bulan
kesalahan: karena tak sudi
terus diperah seperti sapi
di mana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyah
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
di mana-mana ada neni ada udin ada siti
di mana-mana ada eman
di bandung - solo - jakarta - tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan
(Satu Mimpi Satu
Barisan)
Nasib rakyat – terutama kaum
buruh dan para pekerja – menjadi semakin sengsara. Tuntutan dan biaya hidup
yang semakin mahal memaksa rakyat tidak mampu berbuat apa-apa ditengah berbagai
ketakutan yang senantiasa diancamkan kepada mereka.
Komuni Paris (1871) bisa
dijadikan sebuah pelajaran untuk kita. Di tengah-tengah perang Perancis dengan Prussia 1870, di bawah kekuasaan rezim represif
Louis Napoleon Bonaparte, sepupu Napoleon I, kaum buruh pekerja menggulingkan
dan mengambil alih kekuasaan pemerintah dan merubah bentuk negara Paris menjadi komuni
sosialis pada Maret 1871. Komuni Paris dideklarasikan kepada dunia
internasional sebagai contoh pertama dari apa yang disebut diktatur –proletariat. Kelas pekerja, atas nama mereka sendiri,
memerintah diri mereka sendiri secara demokratis dengan terus melawan
upaya-upaya kontra revolusioner dari kelas kapitalis. Komuni Paris menciptakan
eksistensi kaum pekerja, prosedur-prosedur dan langkah-langkah penghapusan
kepemilikan modal serta penciptaan kerjasama yang sesungguhnya dari para
produsen.
Tetapi setelah dua bulan
berselang, setelah pada awalnya berseteru, militer Paris
dan Prussia yang sama-sama
menentang Komuni, bersatu untuk melawan kaum buruh Paris . Dengan berbagai usaha militer yang
dilakukan, keduanya berhasil menebarkan teror yang brutal dan merebut kembali
kemenangan kaum kapitalis. Lebih dari 100.000 kaum komune tewas dibunuh dan
ribuan lainnya diusir.
Kapitalisme, satu tata nilai
sosial yang didasari oleh sistem pekerja-upah, suatu sistem yang terlihat
sebagai cara “membayar-kerja”, padahal bersamaan dengan itu, ia sedang
“membeli-pekerja”, berkuasa hingga kini. Relevansi-kontekstualnya bisa dilihat
di sekeliling kita. Sistem semacam inilah yang kemudian berlaku di setiap sudut
permukaan bumi hingga hari ini.
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
(Peringatan)
Berbagai bentuk tekanan yang
diberikan oleh militer negara terhadap suara dan perlawanan Thukul, tidak mampu
menghentikan langkahnya untuk terus menggugat. Selama sistem busuk yang ada
berkuasa, selama itu pula penentangan dan perlawanan akan terus tumbuh. Tebaran
teror dan ancaman tidak mampu menciutkan nyali dan semangat perlawanan yang
ada.
berminggu-minggu ratusan jam
aku dipaksa
akrab dengan sudut-sudut kamar
lobang-lobang udara
lalat semut dan kecoa
tapi catatlah
mereka gagal memaksaku
aku tak akan mengakui kesalahanku
karena berpikir merdeka bukanlah kesalahan
bukan dosa bukan aib bukan cacat
yang harus disembunyikan
kubaca koran
kucari apa yang tidak tertulis
kutonton televisi
kulihat apa yang tidak diperlihatkan
kukibas-kibaskan pidatomu itu
dalam kepalaku hingga rontok
maka terang benderanglah
:ucapan penguasa selalu dibenarkan
laras senapan!
tapi dengarlah
aku tak akan minta ampun
pada kemerdekaan ini
(Merontokkan Pidato)
hijau hijau
tumbuh lagi
walau kaubabat berulang kali
walau kaubakar berulang kali
hijau hijau
tumbuh lagi
sudah seratus kali kaucabut
kausemburkan api kerusuhan
hijau hijau
tumbuh lagi
harapanku
menaklukkan
ketakutan
yang kauternakkan
lewat pidato
dan laras senapan
aku melihat ilalang
o siasialah
kekuasaan memasang
palang penghalang
ilalang
tetap hidup tumbuh
dan menang
walau seratus kali digaru
(Rumput Ilalang)
aku pernah menyaksikan
banyak orang mendirikan kandang
untuk memelihara harimau
yang mereka hidupkan dari ketakutan
sehingga harimau itu pun
beranak-pinak
di dalam tempurung kepalanya
tapi aku
ogah
memelihara
aku telah membakarnya
dulu
waktu aku bosan
dan tak mau lagi
ditakut-takuti
karena geli
dan hari ini
aku semakin geli
melihat orang-orang kebingungan
karena harimau itu
tak mampu mengaum lagi
mungkin karena capek
sebagai gantinya
di mana-mana
sekarang aku mendengar semakin banyak
suara tawa
tapi
penguasa
risi rupanya
karena itu orang yang berani tertawa
diancam dengan undang-undang subversi
dan hukuman mati
tapi
meskipun para terdakwa
sudah dimasukkan bui
dan diadili
suara tawa itu tak juga kunjung berhenti
meskipun surat
kabar radio dan televisi
telah menyiarkan ke seluruh sudut negeri
bahwa tertawa terbahak-bahak
itu liberal
bertentangan dengan budaya nasional
dan merongrong stabilitas negara
karena itu
orang yang berbicara
tertawa
berpendapat
dan berserikat
harus mencantumkan apa azasnya
kalau nekat
tembak di tempat
sekarang
hanya hakimlah yang kelihatannya tak berpura-pura
karena kalau ia ikutan tertawa
akan punahlah harimau
yang tinggal satu-satunya
karena itu
harus ada yang didakwa
dan dipersalahkan
agar tuntutan jaksa
nampak serius
dan tak menggelikan
sebab
kalau seluruh rakyat tertawa
dan buruh-buruh mogok kerja -apa jadinya?
(Harimau)
Tindakan-tindakan negara yang
sewenang-wenang terhadap bentuk-bentuk ketidak-senangan terhadap sistem hanya
akan melahirkan lebih banyak lagi perlawanan. Kekerasan sebagai bentuk
pemaksaan dan arogansi penguasa akan semakin menyulut keberanian kaum tertindas
untuk tidak gentar dan bertekuk lutut di bawah ketidakadilan.
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
(Tanpa Judul)
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
(Aku Masih Utuh dan
Kata-Kata Belum Binasa)
Kudongkel keluar
orang-orang pintar
dari dalam kepalaku
aku tak tergetar lagi
oleh mulut orang-orang pintar
yang bersemangat ketika berbicara
dunia bergerak bukan karena omongan
para pembicara dalam ruang seminar
yang ucapnya dimuat
di halaman surat-kabar
mungkin pembaca terkagum-kagum
tapi dunia tak bergerak
setelah surat-kabar itu dilipat
(Mendongkel
Orang-Orang Pintar)
TERMUTAKHIR
Puisi terakhir karya Wiji Thukul
dalam tulisan ini berjudul Biarkanlah
Jiwamu Berlibur Hei Penyair. Dari sekian banyak puisi karya Wiji Thukul
yang dikutip ke dalam tulisan sederhana ini, kiranya judul terakhir inilah yang
menyebutkan banyak relevansi dan kaitan langsung dengan keadaan dan realitas
sosial kini. Isu-isu dan kritik sosial yang disuarakannya dalam sajak ini
dahulu apabila disesuaikan dengan kehidupan masyarakat sekarang memiliki banyak
kesamaan. Isu-isunya belum basi. Tuntutan-tuntutannya masih menunggu untuk
dipenuhi. Berbagai fenomena sosial yang terjadi pun banyak kesamaannya. Thukul
mampu membaca perkembangan sosial yang terjadi dengan lebih manusiawi.
lupakanlah
itu para kritikus sastra!
biarkan jiwamu berlibur hei penyair
segarkanlah paru-paru dengan pemandangan-
pemandangan
baru
pergilah ke parangtritis menikmati gubug-gubug
penduduk
yang
menangkap jingking atau makam imogiri berziarah ke
mataram
atau pergi menyelamlah ke keributan jalan raya kotamu
barangkali masih akan kautemukan polisi lalu lintas
yang
seperti
maling, berdagang kesempatan dalam pasar lakon
aku
kepingin ngopi di pinggir jalan
sambil
menertawakan sejarah dan kebenaran
mengisap
rokok mbako lintingan
menatap
zaman yang makin mirip kebun
binatang!
begitu panjang riwayat bangsa tetapi hari ini kita baru
pandai
memuja
masa lalu, mengelus-elus borobudur mendewakan nilai
ketimuran
semu
tetapi sibuk dengan breakdance dan membiarkan
penyelewengan
kekuasaan
membangun gedung-gedung melebarkan jalan raya dan
menyingkirkan
kaki lima
iki jaman
edan!
bukan! ini bukan zaman edan pak jika kita masih punya
malu
pada diri
sendiri dan berhenti mengotori teluk jakarta dengan
kotoran
industri
berhenti membabati hutan-hutan kalimantan dan
kemudian
kembali kita
ber-sumpah pemuda: Indonesia ! satu tanah airku satu
bangsaku
satu
bahasaku
pulau kita di ujung sana dan
pulau kita di ujung sana
adalah
kepulauan kita
bukan lumbung padi jepang cina atau amerika
bangsa kita di ujung sana
dan di sudut situ bukan hanya
milik para nelayan yang dibelit hutang juga bukan cuma
milik
kaum petani yang
gagal panennya dikhianati kemarau panjang
bukan pula milik satu dua thaoke atau juragan atau
cukong!
bahasa kita adalah bahasa indonesia benar - bukan
bahasa
yang gampang
dibolakbalik artinya oleh penguasa
BBM adalah
singkatan dari Bahan Bakar Minyak
bukan Bolak
Balik Mencekik
maka berbicara tentang nasib rakyat tidak sama dengan
PKI
atau malah dicap
anti Pancasila
itu namanya manipulasi bahasa
kita harus
berbahasa indonesia
yang baik dan
benar,
kata siapa
kepada
siapa.
biarkanlah jiwamu berlibur hei penyair!
pergi tamasya ke mana saja lepaskan penat
tapi jangan pergi ke taman hiburan jurug di sana malam
sudah
jadi tempat
praktik majalah sex
pergi saja
kepada Gesang, katakan bahwa
bengawan
Solo
semakin
gawat.
biarkanlah jiwamu berlibur hei penyair!
lupakanlah hirukpikuk dunia pendidikan lupakanlah
jumlah
spanduk universitas
swasta yang ditawarkan tahun ajaran baru ini lupakanlah
barisan
penganggur
yang berbaris lulus dari bangku SMA
ya tinggalkan sementara waktu dunia lakon kita ini
baharui kembali Cinta di hati.
(Biarkanlah Jiwamu
Berlibur Hei Penyair)
Kalau demikian, keadaan kini dan
keadaan ketika Wiji Thukul menuliskan puisi-puisinya tidaklah berbeda. Di
sekitar kita masih tumbuh subur tata nilai sosial yang sama dimana dulu Thukul
berada. Bahkan mungkin keadaan kini telah menjadi lebih buruk. Apa yang menjadi
pencapaian Thukul lewat puisi-puisinya dahulu boleh jadi bertujuan mengingatkan
kita akan bahaya yang bersembunyi dalam sistem sosial yang sedang berlangsung.
Semua 'tidak' baik-baik saja dahulu, kini pun masih sama.
Wiji Thukul, sosok 'yang hilang'
dalam tata nilai sosial yang ada kini, telah meninggalkan jejak kepenyairan
yang memberikan warna bukan hanya pada kekayaan kesusastraan, tetapi juga mengemas
gagasan dan spirit perlawanan terhadap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan
yang terjadi. Suara-suara Thukul dalam puisi-puisinya cukup jelas menggambarkan
jiwa kerakyatannya yang memahami benar gagasan seni kerakyatan di tengah arus
modernitas semu yang hanya dinikmati sebagian individu. Sebagai sebuah simbol
gerakan perlawanan menentang penidasan dan penghisapan manusia atas manusia
lainnya, seni yang diusung Thukul seharusnya mampu menggugah kesadaran setiap
kita untuk tidak tinggal diam dan apatis terhadap keburukan tata nilai sosial
di sekitar kita. Terhadap segala bentuk penindasan yang terjadi, maka hanya ada
satu kata: lawan!
Dimanuga
Rujukan Tulisan:
(1) Kumpulan
Puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru,
penerbit Indonesiatera Magelang, April 2004.
(2) Das Kapital Untuk Pemula, David Smith
& Phil Evans, penerjemah Ugoran Prasad, penerbit Insist Press Yogyakarta.
(3) Marxisme Untuk Pemula, Rupert Woodfin
& Oscar Zarate, penerbit Resist Book Yogyakarta, Maret 2008.
Lampiran:
Berikut isi pamflet yang disebar bersama aksi yang terjadi di Yogyakarta seperti yang dimaksud di awal tulisan:
Negara - Korporasi - Polisi -
Militer adalah teroris sebenarnya. "Pemberontakan sosial akan terus
berlanjut karena mentari terus bersinar".
Kali ini kami mengatakan, bahwa
apa yang kami lakukan merupakan puncak dari semua kegelisahan serta kemarahan
kami terhadap sistem yang sedang berjalan ini.
Sistem yang memberhalakan uang,
sistem yang merecoki keseharian masyarakat dengan televisi, agar mereka membeli
barang-barang yang tak mereka perlukan agar mereka terus bekerja seperti mesin.
Sistem yang mengharuskan kami
beserta masyarakat lainnya tidak memiliki kendali atas hidup kita sendiri.
Sistem yang lainnya menguntungkan borjuis, para pebisnis, dan para birokrat
negara yang menjadi sekutu setianya.
Bagi kami semua, ini bukan
saatnya untuk diam, bukan saatnya untuk tenang menonton acara didepan televisi
dan berkata bahwa "semua baik-baik saja".
Untuk setiap penindasan di Papua
Barat. Untuk setiap Penindasan di Kulon Progo. Untuk setiap penindasan
bersejarah di Aceh. Untuk setiap penindasan di Wera, Bima. Untuk setiap
penggusuran dan perampasan lahan di Talakar dan Pandan Raya di Makasar.
Untuk setiap penindasan terhadap
kawan-kawan kami yang berjuang. Untuk Tukijo dan para kombatan sosial yang
mendekam di penjara hanya karena berjuang mempertahankan hak hidupnya. Untuk
setiap konsensi hutan yang akan menghancurkan setiap keanekaragaman hayati
mengatasnamakan uang dan bisnis!
Dan untuk setiap penjara yang
seharusnya terbakar rata dengan tanah! Maka selama negara dan kapitalisme masih
eksis, TAK PERNAH AKAN ADA KATA DAMAI ANTARA MEREKA YANG TAK BERPUNYA DENGAN
MEREKA YANG BERPUNYA.
Penyerangan terhadap pusat-pusat
finansial: atm, bank, gedung korporat adalah target yang penting, karena mereka
adalah salah satu kolaborator yang menyebabkan penderitaan di muka bumi ini.
Ini bukanlah terorisme karena kami tidak mengadvokasikan untuk menyerang
orang-orang.
Terorisme adalah peperangan antar
negara. Terorisme adalah beras dan pangan di dapurmu yang semakin menipis.
Terorisme adalah bajingan berseragam yang membawa senjata kemana-mana.
Terorisme adalah pembantaian orang-orang tak berpunya.
Maka kami mengatakan: sudah
cukup! Dan ini juga untuk kalian! Para kombatan yang tak pernah surut untuk
berjuang di luar sana , meski kalian harus
mendekam di jeruji besi karena keyakinan kalian akan kebebasan: Conspiracy cell
of fire (Yunani), kombatan Chile :
Tortuga ! Lives on! Gabriel Pombo da Silva,
Thomas Meyer Falk (Germany )
Polikarpus Georgiadis, Revolutionary Straggle! Salut bagi kombatan Manado , Makassar, dan Bandung , kalian adalah inspirasi ditengah
ketidakberdayaan masyarakat akan hidup mereka yang semakin tidak menentu dan
tak berdaya.
"Biarkan api menyala dalam
kegelapan!" Long Live Luciano Tortuga Cell - International Revolutionary
Front - FAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar