Minggu, 25 Desember 2011

MEREKA SEHARUSNYA TIDAK MENANGGUNG BEBAN


Sesuai kesepakatan beberapa hari lalu, hari ini aku datang ke sebuah pertemuan kecil untuk membahas persiapan penyelenggaraan sebuah acara diskusi tentang kemanusiaan yang akan berlangsung seminggu lagi. Pertemuan kali ini membahas teknis pelaksanaan acara diskusi nantinya. Pembahasan berlangsung singkat dan menghasilkan beberapa agenda persiapan untuk dilaksanakan tiap-tiap orang yang datang ke pertemuan kali ini.

Selesai diskusi, aku dan seorang temanku menuju rumah seorang aktivis yang juga istri korban penculikan dan penghilangan paksa oleh apparatus pemerintah di era Orde Baru. Dyah Sujirah atau Mbak Sipon, atau Mbak Pon, begitu ia akrab dipanggil, istri Wiji Widodo yang lebih dikenal dengan Wiji Thukul yang keberadaannya masih misterius hingga kini, akan menjadi salah satu narasumber pada acara diskusi kemanusiaan nanti. Sesuai rencana, Mbak Pon akan membeberkan fakta baru mengenai ‘pencarian’ yang terus dilakukannya selama ini. Kebetulan memang acara diskusi itu digagas olehnya yang merasa masih harus terus memperjuangkan kemanusiaan di negeri ini yang terus-terusan dilecehkan.

Karena berhalangan, Mbak Pon tidak bisa datang ke pertemuan kecil hari ini sehingga aku, bersama seorang temanku yang sudah lebih dari setahun menggeluti dunia Wiji Thukul untuk menyelesaikan skripsinya membuat novel grafis biografi tentang Wiji Thukul, mengunjungi rumah Mbak Pon di kawasan Jagalan untuk mengantarkan TOR (Term of Reference) acara diskusi.

Memasuki pemukiman padat penduduk yang berjejal khas perkampungan kota Solo, tidak sulit menemukan rumah berukuran sedang dengan dinding bercat hijau terang diantara deretan rumah-rumah. Di depan rumah yang kami tuju, tergantung tirai bambu yang menghalangi terlihatnya sebagian jendela berkusen kayu warna krem dan nampak sebuah pintu yang selalu terbuka. Keadaan rumah sepi, dari dalam Mbak Pon menyambut kedatangan kami. Ini kedua kalinya aku bertemu dengan Mbak Pon.

Sambil mempersilakan kami masuk, Mbak Pon menceritakan alasan ketidakhadirannya pada pertemuan kecil hari ini. Setelah membenahi beberapa barang yang berserak di sofa, ia mempersilakan kami duduk. Tampak raut muka Mbak Pon pucat dan penampilannya agak kusut, tidak seperti saat pertama lalu aku bertemu dengannya.

Setelah kami duduk, temanku mengawali perbincangan dan bertanya beberapa hal kepada Mbak Pon. Mbak Pon mendekatkan asbak yang diatasnya terdapat dua batang rokok ke hadapannya sambil mencari-cari pemantik api kemudian mulai bercerita tentang kegelisahan dan kebingungan yang dialaminya beberapa hari belakangan. Dengan gaya bicaranya yang khas seperti anak muda yang sangat kritis, sama sekali tidak tersirat kehidupannya yang terpinggirkan.

“Aku tuh nungguin Wani. Dia sms katanya hari Minggu mau datang dari Jogja. Aku pikir ini hari Minggu, ternyata ini hari Senin. Aku benar-benar lagi kacau, nih. Aku juga nungguin motor. Mau keluar nggak ada motor. Motorku aku jual soalnya”, Mbak Pon mengutarakan alasan bernada minta maaf karena ketidakdatangannya.

“Kemarin aku habis dari Parangtritis. Entah kenapa, seolah ada yang menyuruhku ke sana. Perasaanku tuh nggak enak. Apalagi ada kejadian kemarin, Si Sondang itu. Aku jadi nggak tenang berada di rumah. Terus aku pergi dan aku lepasin semua perasaan nggak enakku. Aku baru pulang tadi pagi. Terus aku keluar lagi dan baru sampe di rumah belum lama. Aku lupa kalau hari ini ada janji”, lanjut Mbak Pon.

Kemudian temanku menanggapi, “Tadi kita juga udah nelpon Mbak Pon tapi nggak diangkat-angkat.”

“Oh itu aku nggak bawa hape. Hapeku aku charge. aku tinggal di rumah”, kata Mbak Pon sekaligus menjawab pertanyaan di benak kami.

Rumah Mbak Pon yang berukuran sedang, berlantai keramik warna putih, tampak agak berantakan karena banyak terdapat bahan-bahan dan peralatan menjahit. Tampak ruang depan yang tidak bersekat tersambung langsung dengan ruang tengah. Ruang depan difungsikan sebagai ruang tamu dan terdapat sofa panjang berwarna biru untuk menerima tamu. Sebagian sofanya digunakan juga untuk menaruh barang-barang menjahit. Ruang tengah difungsikan sebagai tempat Mbak Pon menjahit. Terdapat beberapa mesin dan peralatan menjahit yang sedang tidak digunakan. Terdapat juga kain dan bahan-bahan jahitan.

Di sisi samping ruang depan yang terhubung langsung dengan ruang tengah, disepanjangnya terdapat beberapa kamar yang pintu-pintunya menghadap langsung ke ruang tamu dan ruang tengah. Di kamar paling depan tampak isinya sangat berantakan ketika sekilas aku melihat ke dalamnya dari depan pintu kamar yang separuh terbuka. Di kamar inilah Mbak Pon menaruh hape yang sedang di-charge-nya.

Kamar lain di belakangnya, di dinding luarnya yang menghadap ruang tamu, bersandar sebuah meja agak besar dengan rangkanya yang terbuat dari besi. Di meja ini diletakkan banyak piala dan penghargaan yang didapat oleh keluarga Mbak Pon. Di dindingnya tergantung beberapa foto keluarga dan piagam prestasi dari beberapa instansi dan lembaga yang diterima Mbak Pon dan anak-anaknya. Sekilas tidak tersirat penderitaan yang sedang mendera keluarga ini karena kehilangan kepala keluarga yang dengan semena-mena dicap subversif oleh rezim fasis represif.

Mbak Pon mengambil sebatang rokok dari atas asbak kemudian menyalakannya dengan pemantik api.

“Sejak beberapa hari kemarin aku tuh ngerasa nggak tenang gitu. Perasaan seperti ada yang menarikku supaya ke Parangtritis. Apalagi sejak tahu Si Sondang meninggal itu. Sudah baca kan berita hari ini? Itu kan pas hari HAM itu. Munir kan juga di saat-saat yang sama. Dan itu seperti terus berjatuhan korban gitu. Sementara di Solo nggak ada aksi apa-apa. Yang ada malah peringatan anti korupsi yang sekedar pura-pura. Korupsi masih aja subur. Malah di TBS ada acara pentas teater, yang malah penuh korupsi itu”, cerita Mbak Pon panjang sambil membuka halaman-halaman salah satu koran yang dibelinya hari ini untuk memperlihatkan pada kami foto dan berita singkat mengenai jenazah Sondang Hutagalung yang diarak mengelilingi kampus almamaternya.

Sondang Hutagalung adalah seorang aktivis mahasiswa yang pada Rabu petang, tanggal 7 Desember 2011, sendirian melakukan aksi bakar diri di depan istana kepresidenan. Tubuhnya mengalami luka bakar 98 persen. Ia akhirnya meninggal dunia pada hari Sabtu, 10 Desember 2011, pukul 17.45 WIB, setelah selama tiga hari dirawat intensif di rumah sakit. Tidak ada yang dapat menjelaskan niat Sondang melakukan aksinya yang sangat berani dan penuh penderitaan itu. Namun melihat aktivitas Sondang yang selama ini giat memperjuangkan nasib rakyat kecil dan korban pelanggaran HAM, mungkin Sondang ingin menunjukkan solidaritas dan kecemasannya yang mendalam terhadap rakyat kecil yang masih tertindas dan terus-terusan menderita sementara berbagai tuntutan yang ditujukan kepada para elite negeri ini supaya melakukan perubahan dan perbaikan tidak berarti apa-apa. Apa yang telah dilakukan Sondang ini seharusnya mampu memicu perubahan ke arah kebaikan. Tunduk hormat kita semua untuk Kawan Sondang. Kita pegang teguh idealisme perjuangannya untuk terus memperbaiki negeri ini. Semoga semua perjuangan dan pengorbanannya tidak sia-sia. Selamat jalan pejuang.

Ada seseorang yang seolah mengajakku untuk ketemuan di luar. Tapi orang inilah yang mengarahkanku. Tidak boleh aku yang mengarahkan. Dan aku ngerasa dia itu aneh. Aku tuh ngerasa dia tahu sesuatu tentang Thukul. Aku ngerasa seperti dia menyimpan sesuatu tentang Thukul. Terlebih lagi, perasaanku mengatakan kalau Thukul masih hidup namun dia telah merubah bentuk mukanya. Dia punya wujud yang lain”, lanjut Mbak Pon mengisahkan keanehan yang dirasakannya akhir-akhir ini sambil menikmati batang rokok di tangannya.

Kemudian temanku mengeluarkan lembar TOR acara diskusi untuk diberikan kepada Mbak Pon. Lembar-lembar tersebut meski tidak banyak dan tidak panjang, namun telah memuat esensi pokok dan rancangan acara dengan cukup detil.

Singkat, aku dan temanku memberitahukan hasil evaluasi pertemuan kecil tadi kepada Mbak Pon. Pembahasan evaluasi pertemuan difokuskan kepada teknis pelaksanaan acara nantinya. Temanku meminta Mbak Pon untuk menghubungi saja koordinator pelaksana acara untuk kejelasan lengkapnya.

Sementara Mbak Pon membaca lembar kertas yang baru diterimanya, temanku berdiri dari duduknya dan mengamati bingkai-bingkai yang menempel di dinding. Aku ikut berdiri mengamati. Bermacam penghargaan, sertifikat keikutsertaan, dan dokumentasi acara milik keluarga Mbak Pon tertempel rapi di dinding dan sebagian lainnya diletakkan di meja di bawahnya.

“Itu dulu ada uangnya, sekian (nominalnya aku lupa) juta rupiah”, ucap Mbak Pon ketika aku dan temanku lama memperhatikan satu penghargaan atas dedikasi Mbak Pon selama belasan tahun dalam pekerjaannya di sebuah perusahaan jamu ternama yang diletakkan dalam sebuah bingkai yang hiasan tepinya sangat bagus.

Bingkai-bingkai lain yang tertempel, kalau aku tidak salah ingat, diantaranya berisi foto pernikahan Mbak Pon dan Wiji Thukul, foto dokumentasi sunatan Fajar - anak bungsu Wiji Thukul, piagam penghargaan dari presiden atas partisipasi Mbak Pon pada satu acara kemanusiaan, sertifikat untuk Mbak Pon atas keikutsertaannya dalam sebuah acara kemanusiaan yang diselenggarakan lembaga kemanusiaan terkemuka, piagam penghargaan lomba puisi nasional untuk Wani - anak sulung Wiji Thukul, dan beberapa lagi lainnya yang aku tidak bisa mengingatnya satu per satu.

Cukup banyak hal-hal yang diceritakan Mbak Pon hari ini. Terutama seputar keanehan yang dialaminya di waktu-waktu peringatan hari anti korupsi dan hari HAM. Cerita lain mengenai fakta-fakta baru yang diperoleh Mbak Pon dalam ‘pencariannya’ selama ini, akan detil diungkapkan semua oleh Mbak Pon dalam acara diskusi seminggu lagi.

Setelah semua maksud kedatanganku dan temanku hari ini terlaksana, segera kami berdua bermohon diri.

“Aku nggak enak sama Mbak Pon kalau berlama-lama di sini, auranya Mbak Pon nggak seperti biasanya. Dia kelihatan kusut dan kelihatan sedang berada dalam kegelisahan yang sangat. Kita nanti takutnya malah bikin nggak nyaman”, bisik temanku yang sering berkunjung ke rumah Mbak Pon kepadaku. Aku segera memahaminya.

Kemudian kami berpamitan. Aku tidak sanggup membayangkan kalau semua penderitaan yang dialami dan dirasakan oleh keluarga Wiji Thukul dan Mbak Pon dialami olehku. Dan semua tidak akan semudah membayangkan karena mereka seharusnya tidak menanggung beban.


Dimanuga
Senin, 12 Desember 2011


Tentang Wiji Thukul
(Dikutip dari tulisan dalam buku Kumpulan Puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru, penerbit Indonesiatera Magelang, April 2004)

WIJI Thukul, yang bernama asli Wiji Widodo, lahir pada 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara dia berhasil menamatkan SMP (1979), lalu masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat alias drop-out (1982).

Selanjutnya Wiji Thukul berjualan koran, kemudian oleh tetangganya dia diajak bekerja di sebuah perusahaan meubel antik menjadi tukang pelitur. Pada waktu bekerja sebagai tukang pelitur itu, Wiji Thukul yang dikenal sebagai penyair pelo (cadel) sering mendeklamasikan puisinya untuk teman-teman sekerjanya.

Menulis puisi dimulai oleh Wiji Thukul sejak masih duduk di bangku SD, pada dunia teater dia mulai tertarik ketika di SMP. Lewat seorang teman sekolah dia berhasil ikut sebuah kelompok teater, yaitu Teater JAGAT (singkatan Jagalan Tengah). Bersama-sama rekan Teater JAGAT itulah dia pernah keluar masuk kampung ngamen puisi dengan iringan berbagai instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dan sebagainya. Ngamen seperti itu tidak hanya dilakukan di wilayah Solo, tetapi juga sampai ke Yogya, Klaten, bahkan juga Surabaya. Tahun 1988 pernah menjadi wartawan MASA KINI, meski cuma tiga bulan. Puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak dalam dan luar negeri; Suara Pembaharuan, Bernas, Suara Merdeka, Surabaya Post, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan juga di penerbitan-penerbitan mahasiswa seperti Politik (UNAS), Imbas (UKWS), Pijar (UGM), Keadilan (UJJ), begitu pun berbagai buletin LSM-LSM. Dibandingkan dengan yang dimuat dalam media cetak, lebih banyak lagi sajak-sajak Wiji Thukul tersebar dalam bentuk fotokopi oleh dan di antara teman-temannya dan orang-orang yang mengaguminya. Selain menulis puisi, Wiji Thukul juga menulis cerpen, esai, dan resensi puisi.

Wiji Thukul menikah dengan Dyah Sujirah (Sipon) dan dikaruniai dua anak, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, semasa masih berada di sisi keluarganya, di samping membantu istrinya yang membuka usaha jahitan pakaian, Wiji Thukul juga menerima pesanan sablonan kaos, tas, dan lain-lain. Ia bersama anak dan istrinya pernah mengontrak rumah di kampung Kalangan Solo. Bersama anak-anak sekampung dia menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak-anak. Dia pun pernah menjadi fasilitator workshop teater untuk buruh-buruh perkebunan di Sukabumi, buruh di Bandung, Jakarta, dan di kampung-kampung.

Dua kumpulan puisinya, Puisi Pelo dan Darman dan Lain-Lain, telah diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta (TBS). Tahun 1989, dia diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta; tahun 1991, dia tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis, di pusat kebudayaan Belanda di Jakarta itu dia ngamen.

Tahun 1992, sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit, ia bergabung bersama masyarakat sekampungnya, di sekitar pabrik tekstil PT Sariwarna Asli, untuk ikut memprotes pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil itu. Wiji juga ikut bergabung dengan aksi perjuangan petani di Ngawi (1994), ia memimpin pemogokan buruh di PT Sritex (1995). Hak petani dan hak buruh adalah hak asasi manusia yang harus dibela dan diperjuangkan. Selanjutnya, dengan kalangan mahasiswa dan orang muda yang kritis, Wiji terlibat untuk memperjuangkan kebebasan sipil melalui aksi-aksi di jalan di berbagai kota di Pulau Jawa.

Wiji Thukul di tahun 1991 menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD yang diberikan oleh Wertheim Stichting di negeri Belanda. Bersama W.S. Rendra, Wiji Thukul adalah penerima award pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda WE Wertheim. Selain itu, pada tahun 2002 ia memperoleh YAP THIAM HIEN AWARD ke-10 atas jasanya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Sejak peristiwa 27 Juli 1996 yang menghebohkan, Wiji Thukul menjadi salah seorang korban dari 'asap' politik Orde Baru. Hingga sekarang belum juga diketahui di mana Wiji Thukul berada.