Sabtu, 01 Oktober 2011

SEMUA 'TIDAK' BAIK-BAIK SAJA


Pamflet ini terinspirasi dari aksi pembakaran terhadap salah satu yang dianggap menjadi simbol kapitalisme, yang terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta. Dengan mengesampingkan vandalisme yang dilakukan, aksi tersebut memiliki semangat perlawanan revolusioner dan ideologi yang tegas dan jelas dalam melawan ketidak-adilan yang sedang terjadi. Tulisan ini kemudian mengorelasikan puisi-puisi karya Wiji Thukul yang memiliki visi perjuangan yang sama secara langsung maupun tidak langsung dengan semangat perlawanan revolusioner terhadap ketidak-adilan yang ada. Tulisan sederhana ini, diharapkan dapat memberikan wacana lain yang mampu membawa kepada satu perubahan kearah kebaikan bersama.

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan

jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput

atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan

(Ucapkan Kata-Katamu)

Membaca sajak-sajak karya Wiji Thukul seperti membaca langsung isi hati kaum yang selama ini terasingkan oleh berbagai bentuk penindasan terorganisir kelompok yang merasa diri berkuasa. Bagian terdalam dan paling tersembunyi dari penderitaan para proletariat mampu diungkapkan dengan lugas oleh Thukul. Kata-kata yang bersahaja merupakan suatu kekayaan yang tidak dimiliki oleh puisi-puisi 'molek' yang mengawang-awang. Dan dari kesederhanaan itulah banyak menyimpan ide-ide serta berbagai gagasan yang tidak ada pada puisi 'indah' biasanya. Puisi-puisinya yang dianggap merupakan wujud perlawanan dari kelas tertindas mampu bersuara keras sebelum akhirnya dibungkam oleh kebusukan dan kepicikan fasisme rezim penguasa.

Latar belakang kehidupan Thukul yang berada di kelas sosial bawah mampu menyadarkannya bahwa kekuatan politik dan kekuatan modal berada dibalik semua ketimpangan dan ketidakadilan yang ada. Dan semua itu bukan untuk diterima 'legowo' - begitu saja. Ada sisi lain yang menolak untuk bersikap pasrah, yakni hati nurani dan kemanusiaan. Di satu sisi, moral semu menuntut orang-orang 'kecil' seperti Thukul untuk senantiasa tunduk dan bersikap 'manis', namun di sisi lain, segala ketundukan tadi dibalas dengan kesewenang-wenangan oleh penguasa yang represif. Maka menjeritlah kata-kata ketika tubuh yang lemah itu diinjak. Tidak hanya diam ketika kekuasaan yang sombong melindas segala peri kehidupan.

Thukul sadar betul akan posisi seni yang memiliki kekuatan politik. Seniman, disamping kaum intelek, adalah manusia-manusia yang seharusnya peka dan memiliki solidaritas untuk bergerak melawan satu tata nilai yang bersifat menindas dan menekan rakyatnya. Sebagaimana dahulu Lekra bergerak melawan humanisme semu yang semakin menidurkan rakyat dalam mimpi buruk penindasan manusia atas manusia lainnya. Seniman bukan insan-insan yang harus tunduk begitu saja dan menjadikan ruang keseniannya hanya sebagai pelarian belaka. Sehingga seni yang mengutip berbagai bentuk ketimpangan sosial kemudian dianggap berbahaya terhadap kelangsungan kekuasaan diktator yang senantiasa mengatasnamakan senjata dan modal kaum kapital.

Tulisan sederhana ini bukan bermaksud menghujat dan mencemooh habis-habisan suatu rezim yang pernah langgeng berkuasa. Namun jauh daripada itu, ingin melihat sisi kesahajaan karya-karya sastra Thukul yang dibalik semua itu memiliki pemahaman ideologis yang mendalam terhadap pembangkangan keras terhadap satu model - sistem politik ekonomi yang sudah sejak lama mencengkeram dan menciptakan kelas tertindas. Entah karena kebetulan, baik itu disadari maupun tidak, karya Thukul yang sebenarnya bermaksud membela diri pribadinya mampu dijadikan satu bentuk perlawanan yang mengatakan kepada semua rakyat tertindas bahwa semua 'tidak' baik-baik saja.

ALIENASI BERNAMA KETIMPANGAN SOSIAL
Dalam masyarakat kapitalis sekarang ini, dimana dahulu kolonialisme menciptakan banyak kaum budak dari orang-orang pribumi - yang setelah bebas dari perbudakan, mereka menjadi proletar, tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga untuk kerja untuk dijual - membuat para pemilik modal semakin dominan terhadap kelas pekerja dalam memperlakukan kelas pekerja sebagai komoditas. Mereka dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar dan semakin membesar seiring penghisapan yang terus berlangsung terhadap kaum pekerja. Dengan kepemilikannya atas modal - alat-alat produksi yang absolut, pemilik modal menciptakan relasi ekonomi yang menindas kaum pekerja yang hanya memiliki tenaga untuk dijual.

Selain itu, kekuasaan negara yang serta merta berpihak kepada para pemilik modal, yang dengannya kekuasaan itu akan semakin lama lagi berkuasa, memaksa proletariat tidak mampu berbuat apa-apa dan menerima semuanya sebagai hadiah dari Tuhan. Penindasan yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi memunculkan pemahaman bahwa jalan takdir sudah digariskan demikian dan mereka tidak berhak menggugat terhadap segala ketimpangan yang ada. Maka tidak heran muncul jurang perbedaan yang sangat dalam antara pemilik modal dengan kelas pekerja. Relasi keduanya yang 'aneh' digambarkan oleh Thukul dengan kata-kata yang sederhana dalam puisinya:

udara ac asing di tubuhku
mataku bingung melihat
deretan buku-buku sastra
dan buku-buku tebal intelektual
terkemuka
tetapi harganya
o aku ternganga

musik stereo mengitariku
penjaga stand cantik-cantik
sandal jepit dan ubin mengkilat
betapa jauh jarak kami

uang sepuluh ribu di sakuku
di sini hanya dapat 2 buku
untuk keluargaku cukup buat
makan seminggu

gemerlap toko-toko di kota
dan kumuh kampungku
dua dunia yang tak pernah bertemu

(Catatan)


beli karcis di loket
pengemis tua muda anak-anak
mengulurkan tangan
masuk arena corong-corong berteriak
udara terang benderang tapi sesak
di stand perusahaan rokok besar
perempuan montok menawarkan dagangannya
di stand jamu tradisionil
kere-kere di depan video berjongkok
nonton silat mandarin

di dalam gedung wayang wong
penonton lima belas orang

ada pedagang kaki lima
yang liar dan tak berizin
setiap saat bisa diusir keamanan

(Pasar Malam Sriwedari)

Kaum-kaum terpinggirkan dipaksa pasif dan menjadi kelas pekerja yang jinak yang memiliki disiplin yang tinggi terhadap rezim modal dan tidak lagi memiliki spirit perlawanan. Mereka dipaksa menjadi motor penggerak kehidupan industri masyarakat kuasa modal. Bagi mereka, menyerah dan mengikuti saja sistem yang ada merupakan jawaban, daripada harus hidup lebih buruk lagi, menjadi gelandangan. Ketundukan inilah yang menjadi doktrin abadi yang harus ditaati daripada harus menanggung dosa kehidupan yang memilukan.

di belakang gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas tidur di mana-mana kapan saja
kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
jika kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana ada restoran
kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
bakmi ayam dan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang

kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri

apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!

(Kota Ini Milik Kalian)

GLOBALISASI - KEJAHATAN KORPORASI

Pada malam itu kami berkumpul dan berbicara
Dari mulut kami tidak keluar hal-hal yang besar
Masing-masing berbicara tentang keinginannya
yang sederhana dan masuk akal

Ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur
di rumah kontraknya
Dan itu mengingatkan yang lain
bahwa mereka juga belum punya panci, kompor,
gelas minum dan wajan penggoreng
Mereka jadi ingat bahwa mereka pernah
ingin membeli barang-barang itu
Tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur
oleh keletihan kami
Dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi

Ternyata banyak di antara kami yang masih susah
menikamati teh hangat
Karena kami masih pusing bagaimana mengatur
letak tempat tidur dan gantungan pakaian

Ada yang sudah lama ingin mempunyai kamar mandi sendiri
Dari situ pembicaraan meloncat ke soal harga semen
dan juga cat tembok yang harganya tak pernah turun

Kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum
yang sudah berlalu
Tiga partai politik yang ada kami simpulkan
Tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
Mereka hanya memanfaatkan suara kami
demi kedudukan mereka

Kami tertawa karena menyadari
Bertahun-tahun kami dikibuli
dan diperlakukan seperti kerbau

Akhirnya kami bertanya
Mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam
Mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
untuk menyekolahkan anak-anaknya
Padahal mereka tiap hari menghasilkan
berton-ton barang

Lalu salah seorang di antara kami berdiri
Memandang kami satu-persatu kemudian bertanya:
'Adakah barang-barang yang kalian pakai
yang tidak dibikin oleh buruh?'
Pertanyaan itu mendorong kami untuk mengamati
barang-barang yang ada di sekitar kami:
neon, televisi, radio, baju, buku...

Sejak itu kami selalu merasa seperti
sedang menghadapi teka-teki yang ganjil

Dan teka-teki itu selalu muncul
ketika kami berbicara tentang panci-kompor-
gelas minum-wajan penggoreng
Juga di saat kami menghitung upah kami
yang dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi

Kami selalu heran dan bertanya-tanya
Kekuatan macam apakah yang telah menghisap
tenaga dan hasil kerja kami?

(Teka-teki yang Ganjil)

Pertanyaan dan teka-teki yang muncul dalam pergulatan berbagai pemikiran pada puisi Thukul tersebut sesungguhnya merupakan satu titik terang dimana kaum pekerja - dalam hal ini buruh pabrik - telah menyadari akan keberadaannya yang tertindas. Pergolakan batin yang kemudian dituliskan ke dalam sajak tersebut menjadi satu bentuk perlawanannya. Kesadaran semacam ini sebagaimana yang pernah diusung Lembaga Kebudayaan Rakyat yang memiliki pemahaman "Seni Untuk Rakyat" dengan gerakan Turba - Turun ke Bawah. Bedanya, Thukul tidak melakukan turun ke bawah - secara harafiah, karena memang ia sudah hidup dari kelas sosial bawah. Dan kesadaran Thukul yang berasal dari kelas bawah untuk "berke-Seni-an Untuk Rakyat" itulah yang harus digaris-bawahi.

Kelas borjuis - kelas yang berkuasa - dan proletar - kelas pekerja - adalah hasil dari rantai pertumbuhan sejarah yang panjang. Proses sejarah ini oleh Karl Marx disebut sebagai "pengambil-alihan asal terhadap para produsen" - proses dan rangkaian kejadian serta perlawanan dimana kemudian produsen dipisahkan dari alat produksi. Kapitalis dan kaum pekerja tidak muncul secara alamiah. Kelas sosial tidaklah jatuh dari langit atau tumbuh begitu saja dari dasar bumi.

Alat produksi - mencakup mesin-mesin, bangunan, bahan dasar, sumber daya alam, dan hal-hal lain yang dibutuhkan produksi - sebagai sumber produksi, secara aktif digabungkan dengan energi manusia sebagai tenaga kerja. Ketika sumber produksi dikontrol secara langsung oleh produsen, tenaga kerja dan alat produksi dikombinasikan secara organis. Sebagai contoh, seorang petani yang menanam padi. Apabila kebutuhannya atas alat-alat dan bahan material untuk produksinya telah tercukupi atas kepemilikannya pada benda-benda tersebut, maka ia dengan mudah dapat mewujudkan tujuan produksinya dengan menggunakan secara efektif seluruh sumber-sumber produksi tersebut. Hasil produksinya pun mencukupi diri sendiri dan bersifat independen.

Namun ketika alat-alat produksi diambil dan dipisahkan dari produsen untuk kemudian dikuasai kepemilikannya oleh kaum kapitalis, maka tanpa alat produksi, produsen tak memiliki apa-apa kecuali tenaga kerja. Para produsen akhirnya harus menjual tenaga kerja yang tersisa sekedar untuk bertahan hidup dan berakhirlah sebagai kaum proletar. Sementara itu, Kaum kapitalis menyatukan kembali tenaga kerja dan alat-alat produksi dengan cara yang berbeda. Kaum proletar menggantungkan pekerjaan, kesempatan hidup dan aksesnya terhadap alat produksi kepada para kapitalis yang menguasai alat-alat produksi dan memiliki kontrol penuh atasnya, serta memungkinkan kelas kapitalis untuk membeli dan memiliki tenaga kerja. Kaum pekerja yang teralienasi - produsen langsung yang dipisahkan dari alat-alat produksinya – inilah prasyarat dasar atas eksploitasi terhadapnya oleh kaum pemilik modal.

Kaum pekerja yang hanya mempunyai tenaga menjual kemampuannya dengan bekerja untuk uang, untuk gajinya, sebagai alat mencukupi kebutuhan hidupnya, bukan untuk hobby. Sementara para pemilik modal, memiliki uang untuk membeli komoditas dan memiliki akses penuh terhadap alat-alat produksi agar menghasilkan produk-produk untuk kemudian menjualnya dan memperoleh keuntungan. Pemilik modal membeli untuk menjual kembali. Tidak untuk meraup jumlah uang yang sama, tetapi uang yang jumlahnya jauh lebih besar.

Lalu dimanakah letak penghisapannya? Secara sederhana, ketika uang adalah super komoditas yang mampu membeli apa saja untuk melakukan suatu proses produksi, maka kemampuan manusia bekerja atau tenaga kerja adalah super-super komoditi. Uang tetap membeli tenaga kerja agar dapat memperoleh keuntungan dan nilai-lebih. Hanya dengan memiliki tenaga kerjalah uang dapat berubah menjadi modal. Kapitalis bergantung pada komodifikasi atas tenaga kerja. Sehingga jika memasuki pasar akan ditemukan satu set pembeli (pemilik uang, tanah, mesin-mesin) dan satu set penjual (tenaga kerja). Dan akan ditemukan satu kelas yang membeli secara terus menerus untuk mendapatkan semakin banyak keuntungan-kekayaan, sementara kelas lainnya terus menerus menjual tenaga kerja hanya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

Bentuk "norma" dari produksi yang berlaku sekarang ini - terdapat tiga hal, yakni; Kemerdekaan, pembeli (pemilik modal) maupun penjual (kaum pekerja) ditentukan oleh keinginan bebas diri mereka sendiri dan dipandang sebagai manusia merdeka yang sama di mata hukum; Kesamaan, satu sama lain dihubungkan sebagai pemilik dari komoditas dan saling bertukar secara seimbang; Kepemilikan, seseorang hanya mengatur apa-apa yang dimilikinya - oleh para pemilik modal digunakan untuk mendisiplinkan tenaga kerja. Ketika produksi-produksi kapitalistik semakin stabil, 'paksaan halus' tersebut semakin berjalan baik untuk melanggengkan dominasi pemilik modal terhadap kelas pekerja. Para pekerja dengan aman dapat ditinggalkan pada kebijakan dunia produksi, sehubungan dengan ketakutan atas pengangguran, kelaparan dan kekurangan. Kelas pekerja tidak dihadapkan pada pilihan selain menjual diri sebagai tenaga kerja.

Warsini! Warsini!
apa kamu sudah pulang kerja Warsini
apa kamu tidak letih
seharian berdiri di pabrik Warsini
ini sudah malam Warsini
apa celana dan kutangmu digeledah lagi
karena majikanmu curiga
kamu menyelipkan moto
ini malam minggu Warsini
berapa utangmu minggu ini
apa kamu bingung hendak membagi gaji
apakah kamu masuk salon
potong rambut lagi

ayolah Warsini
kawan-kawan sudah datang
kita sudah berkumpul di sini
kita akan latihan sandiwara lagi
kamu nanti jadi mbok Bodong
si Joko biar jadi rentenirnya
jangan malu Warsini
jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu
sebab mas Yanto juga tidak sekolah Warsini
ia pun cuma tukang plitur
Mami juga tidak sekolah
kerjanya cuma mbordir sapu tangan di rumah
Wahyuni juga tidak sekolah
bapaknya tak kuat mbayar uang pangkal SMA
Partini? ia pun penjahit pakaian jadi
di perusahaan konveksi milik tante Lili

ayolah Warsini
ini malam minggu Warsini
kami menunggumu di sini
kita akan latihan sandiwara lagi

(Ayolah Warsini)

Meski kelas pekerja bisa bertahan atas tirani modal dengan berbagai cara, semuanya dilakukan dengan resiko pribadi yaitu pekerja bisa dipecat. Pemilik modal dapat begitu saja menolak untuk membeli tenaga kerja. Dengan demikian, pekerja juga dipisahkan dari kemungkinan untuk bertahan hidup. Secara tidak langsung, hukum berpihak kepada pemilik modal, bagaimanapun, ia membeli tenaga kerja dengan legal dan dengan bebas bisa ia gunakan sekehendaknya.

Adalah fakta yang luar biasa aneh, ketika para pekerja mampu menghasilkan komoditas yang jauh lebih berharga daripada kaum pekerja itu sendiri. Membayar pekerja untuk nilai atas tenaga kerjanya membutuhkan uang yang lebih sedikit ketimbang yang akan diraup oleh sang kapitalis pemilik modal dari keuntungannya menjual produk.

di ujung sana ada pabrik roti
kami beli yang remah-remah
karena murah
di ujung sana ada tempat
penyembelihan sapi
dan kami kebagian bau
kotoran air selokan dan tai
di ujung sana ada perusahaan
daging abon
setiap pagi kami beli kuahnya
dimasak campur sayur

di pinggir jalan
berdiri toko-toko baru
dan macam-macam bangunan
kampung kami di belakangnya
riuh dan berjubel
seperti kutu kere kumal
terus berbiak!

membengkak tak tercegah!

(Gumam Sehari-hari)

Dibutuhkan pembahasan lebih mendalam untuk menjabarkan tentang bagaimana semua penghisapan yang terjadi terhadap kelas pekerja oleh kaum pemilik modal itu sehingga bisa dianggap lumrah. Diatas semua hal itu, segalanya tidak terjadi tiba-tiba dan tidak secara alamiah tercipta demikian. Ketimpangan-ketimpangan yang ada, membuktikan bahwa tidak ada individu yang menginginkan tercipta untuk seumur hidup dihisap sementara ada individu lain yang terus-menerus mengeruk keuntungan. Melalui puisinya, Thukul telah membangun kesadaran bahwa segala ketimpangan yang sedang berlangsung adalah tidak semestinya.

Globalisasi dan perdagangan bebas - perpanjangan tangan kaum pemilik modal - telah menciptakan semakin banyak penghisapan terhadap kaum pekerja. Penghisapan tersebut berlangsung dengan sangat terorganisir, meluas tanpa batas negara dan semakin tak terbendung. Bahkan berhasil diturunkan dan diwariskan ke generasi di bawahnya. Pemilik modal suatu negara akan berhasrat tinggi untuk menanamkan modalnya di negara lain, terutama di negara-negara yang miskin. Peluang pasar yang terbuka segar, kesempatan berinvestasi, para pekerja dengan upah yang murah dan sumber alam yang lengkap tersedia, ditambah dengan rekayasa politik dan pengaruh militer semakin melebarkan sayap kapitalis dimana-mana.

Semakin hebat suatu korporasi menjalankan bisnisnya, maka akan semakin hebat pula penghisapan yang dilakukannya. Tidak hanya kepada para pekerja, banyak rakyat yang juga akan menderita dan menjadi korbannya. Kekuasaan negara yang berpihak kepada pemilik modal, semakin memperparah segala ketertindasan rakyat. Korporasi senantiasa memikirkan bagaimana mengembangkan dan memperluas usahanya - penghisapannya, sementara rakyat hanya bisa memikirkan bagaimana mengusahakan kebutuhan sehari-harinya.

ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli apa-apa
lihat-lihat saja

kalau pengin durian
apel pisang rambutan atau anggur
ayo
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada

kalau pengin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol

lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja

ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama dari ibukota
lihat
mobil para tetamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya

kota kita memang makin megah dan kaya

tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan

besok pagi

kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa

(Nonton Harga)

Upah kerja yang minim, yang hanya mampu untuk mereposisi tenaga para pekerja agar esok dapat kembali bekerja, tidak mampu mengangkat para pekerja ke kehidupan yang lebih baik, bagaimanapun kerasnya tulang para pekerja dibanting. Sementara para kuasa modal dengan akumulasi keuntungan yang diperolehnya mampu untuk terus berkembang menghasilkan modal baru dan semakin memperpanjang-memperluas penghisapannya. Demikian, bagaimanapun dengan apa yang dinamakan Corporate Social Responsibility banyak dilakukan para pemilik modal, korporasi ada untuk keuntungan.

Berbagai permasalahan sosial yang terjadi, boleh jadi diakibatkan oleh cara kerja sistem kapital yang eksploitatif. Tidak hanya eksploitasi terhadap tenaga kerja, korporasi bahkan mengabaikan keseimbangan sumber daya alam dan lingkungan. Sumber-sumber alam yang diambil untuk digunakan dalam proses produksi juga diekploitir dan dijarah habis-habisan tanpa memperhatikan keberlangsungannya kemudian. Ekses dari proses produksi yang serampangan terkadang memiliki dampak yang juga merusak, terutama terhadap keseimbangan lingkungan. Prinsip untuk mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan telah mendorong korporasi melakukan banyak kejahatan sosial.

lingkungan kita si mulut besar
dihuni lintah-lintah
yang kenyang menghisap darah keringat tetangga
dan anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri para penganggur
yang mabuk minuman murahan

lingkungan kita si mulut besar
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur filem-filem kartun amerika
perempuannya disetor
ke mesin-mesin industri
yang membayar murah

lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak
mencret oli dan logam
busa dan plastik
dan zat-zat pewarna yang merangsang
menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
yang mengulum es
limapuluh perak

(Lingkungan Kita Si Mulut Besar)

'RAKYAT BUTUH TANAH' DAN TENTANG AGRARIA
Ide lain yang digagas Thukul dalam puisinya adalah mengenai agraria. Communist Manifesto (1848) yang diterbitkan oleh Karl Marx dan Friederich Engels dengan mengatasnamakan kelompok kaum buruh idealis, dalam salah satu tuntutannya menghendaki penghapusan kepemilikan tanah dan penggunaan seluruh tanah sewa untuk kepentingan publik. Communist Manifesto, salah satu dokumen politik terpenting dan berpengaruh dalam sejarah yang otoritas dan prestisenya diakui banyak orang, hingga kini tetap merupakan bentuk dasar bagi sistem politik yang memotivasi jutaan orang. Sayangnya di Indonesia, sejarahnya tidak pernah tertulis dalam buku pelajaran sekolah sebagaimana kurikulum picik menuliskan Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat dan Declaration of Right (1789) di Perancis.

Communist Manifesto, yang memprioritaskan sektor pertanian - selain industri - menghendaki pengolahan tanah terlantar dan perbaikan tanah sesuai dengan suatu rencana bersama. Tanah menjadi milik bersama, secara struktural diolah untuk kepentingan publik. Semua orang memiliki kewajiban yang setara untuk bekerja.

tanah mestinya dibagi-bagi
jika cuma segelintir orang
yang menguasai
bagaimana hari esok kaum tani

tanah mestinya ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini
jika sawah diratakan
rimbun semak pohon dirubuhkan
apa yang kita harap
dari cerobong asap besi

hari ini aku mimpi buruk lagi
seekor burung kecil menanti induknya
di dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi

(Tanah)


tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

(Tentang Sebuah Gerakan)

Modal ketika diinvestasikan akan meningkatkan nilai lebih. Nilai lebih ini memiliki tiga bentuk dasar: profit (keuntungan), bunga dan sewa. Nilai lebih berupa profit merupakan milik langsung pemilik modal yang dapat digunakan dalam dua cara; sebagai deviden - kesenangan pribadi dan bisa sebagai modal baru. Kemudian, nilai lebih berupa bunga akan didapatkan ketika pemilik modal meminjamkan sebagian modalnya - yang biasanya berupa uang. Dan terakhir, nilai lebih berupa pembayaran sewa akan didapatkan ketika pemilik modal meminjamkan modalnya yang berupa tanah atau bangunan. Mengejar keuntungan (nilai lebih) membuat sistem bertahan dan terus melaju. Uang telah membuktikan kemampuannya untuk berkembang, menunjukkan kekuatan untuk meningkatkan diri dengan sendirinya.

Kepemilikan dan penguasaan modal berupa tanah yang tidak dibatasi memunculkan permasalahan lainnya. Pemilik modal mampu memiliki dan menguasai tanah sepenuhnya, sementara buruh tani hanya memiliki tenaga untuk bekerja mengolah tanah yang bukan miliknya. Relasi ketergantungan ini akan berlangsung terus hingga pemilik tanah bisa mengembangkan kepemilikannya atas tanah lainnya, sementara buruh tani hanya dapat memenuhi kebutuhan hariannya dengan upah kerja mengolah tanah milik orang lain tanpa bisa memiliki apa-apa.

Tanah seharusnya tidak dikuasai oleh segelintir individu sementara individu yang sebenarnya mampu mengefektifkannya tidak memiliki kontrol sama sekali terhadap tanah yang diolahnya.

'MENYOAL' BURUH
Pemilik uang membeli dua jenis komoditas untuk menggerakkan roda produksi, para buruh dan alat produksi. Uang, seterusnya akan berfungsi dalam dua cara; pertama, untuk membeli tenaga manusia hidup, dan kedua, untuk membeli sumber-sumber produksi, yaitu bagian-bagian dari suatu produk yang sebelumnya adalah juga hasil tenaga manusia. Nilai-lebih akan dihasilkan dari penggunaan satu diantara dua komoditas ini, yaitu tenaga kerja. Alat produksi memang menambahkan nilai, tetapi tidak sebagaimana tenaga kerja menubuhkan nilai terhadap produk.

Produksi modal cenderung untuk bergantung semakin besar pada meningkatnya kekuatan alat-alat produksi. Produktivitas berkembang seiring berkembangnya teknologi. Dan sejarah menulis, alasan yang paling utama dari cepatnya pertumbuhan kepemilikan alat produksi para kapitalis adalah kompetisi. Ketika pemilik modal memutuskan untuk membeli tenaga kerja dan alat-alat produksi untuk melakukan proses produksi, dia mengambil keputusan penuh resiko, tentu saja ada pemilik modal lain yang bergerak dalam proses produksi sejenis dan semakin sedikit kemungkinan pasar yang ada.

Untuk mendapatkan ruang yang lebih besar di pasar dibandingkan pesaingnya, pemilik modal harus menjual barang-barangnya semurah mungkin. Berbagai cara memotong waktu kerja produksi dilakukan untuk memangkas harga agar dapat menjual produk lebih murah dibanding pesaingnya, tanpa harus menjual barang-barang produksinya lebih murah dari harga yang dikandungnya. Intinya, kompetisi memaksa modal untuk digunakan dengan semakin kecil waktu produksi per komoditas. Kompetisi menjadi semacam medan peperangan, pemotongan harga adalah juga cara untuk 'membunuh' pesaing-pesaingnya.

Sementara upah itu sendiri melindungi eksploitasi terhadap para pekerja, membuat sistem penjualan tenaga kerja menjadi tampak penting dan perlu. Ada prasangka dominan bahwa upah telah membayar untuk apa yang dilakukan oleh para pekerja dan bukan tenaga kerja mereka. Dalam kenyataannya, buruh tidak dibayar untuk kerja mereka. Produksi kapitalis didasarkan pada eksploitasi. Sekali 'tenaga kerja' terjual, para pemilik modal akan menggunakan tenaga kerja itu seenaknya. Buruh dibayar tidak untuk kerja mereka sendiri, bahkan tidak karena kegunaan atau 'rata-rata sosial', tapi untuk rata-rata waktu kerja yang terkonstruksi secara sosial, yang diperlukan hanya untuk mengembalikan kekuatan tenaga kerja agar esok hari dapat bekerja sekeras hari ini.

Para buruh jarang memahami hal ini. Malah, adalah hal yang umum, lumrah dan wajar untuk mempercayai bahwa pekerja dibayar untuk apa yang dikerjakannya, sehingga keuntungan bukanlah hasil dari eksploitasi kerja. Pembagian hari kerja yang terbagi antara kerja penting dan kelebihan kerja, kerja yang dibayar dan yang tidak, oleh upah telah dihapus sehingga seluruh kerja tampak seperti kerja yang dibayar. Pertukaran antar modal dan kerja tampak seperti penjualan komoditas biasanya. Tampak seperti itu adalah sifat alamiah dari kerja, untuk dijual. Inilah yang oleh Karl Marx disebut dengan fetishisme, suatu persepsi bahwa komoditas mengandung nilai instrinsik untuk dipertukarkan.

Thukul mendeskripsikan berbagai bentuk ketertindasan buruh melalui sajak-sajaknya yang lain.

Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat amben-nya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya

Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan

Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja

Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya

Suti meludah
dan lagi-lagi darah

Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah

Suti meludah
dan lagi-lagi darah

Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat

(Suti)


di sini terbaring
mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya

di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya tergusur

di tanah ini
terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap Pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji

di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah!

(Kuburan Purwoloyo)


bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
anak dipisuhi ibunya
suami istri ribut-ribut

bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
kiri kanan ribut
anak-anak menangis
suami istri bertengkar
silih berganti dengan radio
orang-orang bergegas
rebutan sumur umum

lalu gadis-gadis umur belasan
keluar kampung menuju pabrik
pulang petang
bermata kusut keletihan
menjalani hidup tanpa pilihan

dan anak-anak terus lahir berdesakan
tak mengerti rumahnya di pinggir selokan
bermain di muka genangan sampah
di belakang tembok-tembok
menyumpal gang-gang

berputar dalam bayang-bayang
mencari tanah lapang

(Kampung)

Kesadaran kritis Thukul terbangun seiring kehidupan pribadinya yang terus-terusan dicekam kesulitan akibat kondisi dan situasi sosialnya dan orang disekitarnya. Situasi itu bukan tidak disengaja, melainkan telah terorganisir dan secara struktur mampu menggilas setiap individu yang tidak bisa dan tak mau tunduk terhadapnya. Kapitalis dan kongkalikongnya terhadap negara, memaksa rakyat yang tak berdaya semakin terjerat dalam kesengsaraan. Kekayaan sumber daya yang ada hanya dikuasai dan dinikmati segelintir individu. Rakyat kecil - terutama kaum buruh yang hanya memiliki tenaga untuk kerja, sehari-hari dihadapkan pada upah kerja yang tidak mencukupi kebutuhannya untuk makan, sandang dan tempat tinggal; tidak adanya jaminan kesehatan; jaminan pendidikan dan masa depan bagi anak-anaknya; sementara seumur hidup telah dihabiskannya untuk bekerja keras.

Di awal-awal kapitalisme di Inggris, ketika modal telah terorganisasi sementara tidak demikian halnya dengan para buruh, banyak cerita kejam tentangnya. Ribuan anak-anak berusia antara 7-12 tahun telah dipaksa bekerja sampai mati - dipaksa bekerja sejak matahari terbit hingga tengah malam, bahkan terkadang lebih larut lagi. Kuasa modal begitu lapar dan menghisap buruh sampai pada jumlah kematian yang sangat besar.

Sementara di dalam sistem pendidikan pun, kapitalisme menancapkan kekejamannya. Pendidikan yang seharusnya dijamin penuh oleh negara, lagi-lagi harus diambil-alih kendalinya dan tunduk pada kuasa uang. Sekolah yang seharusnya mampu mendidik dan menciptakan kaum terdidik yang kritis yang kelak mampu mengentaskan negara dari berbagai permasalahan bangsa, nyatanya dimanfaatkan oleh kekuasaan uang untuk menciptakan individu-individu yang siap diperintah untuk kemudian menjalankan berbagai roda industri kapitalis. Sekolah hanya menciptakan komoditas yang siap digunakan untuk keberlangsungan masyarakat kapitalis. Hal ini tidak berbeda dengan kolonialisme Hindia Belanda. Dahulu, rakyat dicetak menjadi kaum terdidik untuk menempati posisi-posisi tertentu yang menuntut keahlian khusus demi kepentingan kolonial Belanda. Sekarang, rakyat belajar di bangku sekolah untuk memenuhi kebutuhan industrialis kaum kapital akan tenaga kerja.

Selain itu, substansi dari bersekolah pun hanya berdasarkan keperluan dan kebutuhan kapitalisme. Sistem pendidikan dan berbagai unsur yang terkandung di dalamnya telah diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan kapitalis. Tidak heran, anak-anak sekolah didoktrin dan dipaksa untuk menerima hal-hal tertentu saja yang sesuai dengan kemauan kapitalis untuk keberlangsungan sistemnya yang culas, tanpa boleh memahami esensi dan tujuan sebenarnya. Sekali lagi, Thukul yang tidak pernah tamat sekolah menengah tingkat atas ini, menyadari akan kebusukan sistem pendidikan yang semacam ini melalui puisinya.

pada masa kanak-kanakku
setiap jam tujuh pagi
aku harus seragam
bawa buku harus mbayar
ke sekolah

katanya aku bodoh
kalau tidak bisa menjawab
pertanyaan guru
yang diatur kurikulum

aku dibentak dinilai buruk
kalau tidak bisa mengisi dua kali dua
aku harus menghapal
mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf
aku harus tahu siapa presidenku
aku harus tahu ibukota negaraku
tanpa aku tahu
apa maknanya bagiku

pada masa kanak-kanakku
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
aku tidak boleh menguap di kelas
aku harus duduk menghadap papan di depan
sebelum bel tidak boleh mengantuk

tapi
hari ini
setiap orang boleh memberi pelajaran
dan aku boleh mengantuk

sarang jagat teater
19 januari 88

(Kenangan Anak-Anak Seragam)

Kritik Thukul terhadap sistem demokrasi dengan sangat menarik dituliskan ke dalam sebuah sajaknya berjudul Reportase dari Puskesmas. Gambaran pemikiran sederhana dari rakyat kecil terhadap sistem demokrasi yang tidak berpihak kepada rakyat, ditulis bernada menyentil dan mengusik. Inilah sebuah kejujuran dari suara hati rakyat kecil yang mendambakan kehidupan sejahtera berkeadilan. Penyakit kemiskinan telah membawa semuanya kepada demokrasi yang semu. Tidaklah muluk-muluk kiranya keinginan rakyat, mereka ingin hidup pantas.

barangkali karena ikan laut yang kumakan ya
barangkali karena ikan laut, seminggu ini
tubuhku gatal-gatal ya gatal-gatal
karena itu dengan lima ratus rupiah aku daftarkan
diri ke loket, ternyata cuma seratus lima puluh
murah sekali o murah sekali! lalu aku menunggu
berdiri. bukan aku saja. tapi berpuluh-puluh
bayi digendong. orang-orang batuk
kursi-kursi tak cukup maka berdirilah aku.
            "sakit apa pak?"
aku bertanya kepada seorang bapak berkaos lorek
kurus. bersandal jepit dan yang kemudian mengaku
sebagai penjual kaos celana pakaian rombeng
di pasar johar.
            "batuk pilek pusing sesek napas
            wah! campur jadi satu nak!"
bayangkan tiga hari menggigil panas tak tidur
ceritanya kepadaku. mendengar cerita lelaki itu
seorang ibu (40 th) menjerit gembira:
            "ya ampun rupanya bukan aku saja!"
di ruang tunggu terjejal yang sakit pagi itu
sakit gigi mules mencret demam semua bersatu.
jadi satu. menunggu.
o ya pagi itu seorang tukang kayu sudah tiga
hari tak kerja. kakinya merah bengkak gemetar
            "menginjak paku!" katanya, meringis.
puskesmas itu demokratis sekali, pikirku
sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam,
tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
ya semua disuntik dengan obat yang sama.
ini namanya sama rata sama rasa.
ini namanya setiap warganegara mendapatkan haknya
semua yang sakit diberi obat yang sama!

(Reportase dari Puskesmas)

HIDUP DALAM TEKANAN DAN KEKERASAN NEGARA
Uang sebagai super komoditas dengan semua mitos kekuatannya di tingkat tertinggi mampu untuk membeli kekuasaan negara. Dengan kekuasaan dan otoritas negara, pemilik modal menggunakannya untuk memperbesar dan melindungi aset-aset yang dimiliki. Sementara negara dengan semua alat kuasanya melindungi dan menjamin keberlangsungan kapitalis pemilik modal untuk terus menghisap dan menindas proletar. Negara dengan kekuasaan dan hak pengelolaan yang dimilikinya seharusnya melindungi kepentingan seluruh rakyatnya, bukan cuma menjamin kepentingan beberapa individu saja. Kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya tidak luput juga dari pengamatan Thukul yang dituliskan ke dalam puisi-puisinya. Bahkan sepanjang sisa usia dijalaninya menghadapi berbagai bentuk tindakan represif oleh negara.

Negara dengan kekuatan birokrasi senjata mampu memberangus segala bentuk perlawanan menentang penindasan kuasa modal terhadap para pekerja. Tentu masih teringat dalam benak kita tentang kasus Marsinah, seorang buruh perempuan di sebuah pabrik jam di Sidoarjo yang harus gugur di tangan apparatus represif negara demi memperjuangkan hak kenaikan upah sebesar Rp 550,-. Negara yang seharusnya melindungi hak rakyatnya, nyatanya abai, bahkan berbalik melawan rakyatnya sendiri.

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

(Sajak Suara)


seekor tikus
pecah perutnya
terburai isinya
berhamburan dagingnya

seekor tikus mampus
dilindas kendaraan
tergeletak
di tengah jalan
kaki dan ekor terpisah dari badan
darah dan bangkainya
menguap
bersama panas aspal hitam

siapa suka
melihat manusia dibunuh
semena-mena
ususnya terburai tangannya terkulai
seperti tikus selokan
mampus
digebuk
dibuang
di jalan
dilindas kendaraan

kekuasaan sering jauh lebih ganas

ketimbang harimau hutan yang buas
korbannya berjatuhan
seperti tikus-tikus
kadang tak berkubur
tak tercatat
seperti tikus
dilindas
kendaraan lewat

siapa suka
harkat manusia
senilai tikus
diburu
digebuk
ditembak
seperti tikus

siapa mau
disamakan dengan tikus
didudukkan
di kursi terdakwa
dituding tuan jaksa
ingin menggulingkan negara
hanya karena berorganisasi
dan punya lain pendapat

kau bersedia
diumpamakan
seperti tikus?

(Tikus)


di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah ya karena upah

di ciroyom ada kawan sodiyah
si lakinya terbaring di amben kontrakan
buruh pabrik teh
terbaring pucet dihantam tipes
ya dihantam tipes
juga ada neni
kawan bariyah
bekas buruh pabrik kaos kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat ya dia dipecat
kesalahannya: karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang

di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dironsen pasti nampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak ya amoniak

di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemes ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya 24 jam

di majalaya ada kawan eman
buruh pabrik handuk dulu
kini luntang-lantung cari kerjaan
bini hamil tiga bulan
kesalahan: karena tak sudi
terus diperah seperti sapi

di mana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyah
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
di mana-mana ada neni ada udin ada siti
di mana-mana ada eman
di bandung - solo - jakarta - tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan

(Satu Mimpi Satu Barisan)

Nasib rakyat – terutama kaum buruh dan para pekerja – menjadi semakin sengsara. Tuntutan dan biaya hidup yang semakin mahal memaksa rakyat tidak mampu berbuat apa-apa ditengah berbagai ketakutan yang senantiasa diancamkan kepada mereka.

Komuni Paris (1871) bisa dijadikan sebuah pelajaran untuk kita. Di tengah-tengah perang Perancis dengan Prussia 1870, di bawah kekuasaan rezim represif Louis Napoleon Bonaparte, sepupu Napoleon I, kaum buruh pekerja menggulingkan dan mengambil alih kekuasaan pemerintah dan merubah bentuk negara Paris menjadi komuni sosialis pada Maret 1871. Komuni Paris dideklarasikan kepada dunia internasional sebagai contoh pertama dari apa yang disebut diktatur –proletariat. Kelas pekerja, atas nama mereka sendiri, memerintah diri mereka sendiri secara demokratis dengan terus melawan upaya-upaya kontra revolusioner dari kelas kapitalis. Komuni Paris menciptakan eksistensi kaum pekerja, prosedur-prosedur dan langkah-langkah penghapusan kepemilikan modal serta penciptaan kerjasama yang sesungguhnya dari para produsen.

Tetapi setelah dua bulan berselang, setelah pada awalnya berseteru, militer Paris dan Prussia yang sama-sama menentang Komuni, bersatu untuk melawan kaum buruh Paris. Dengan berbagai usaha militer yang dilakukan, keduanya berhasil menebarkan teror yang brutal dan merebut kembali kemenangan kaum kapitalis. Lebih dari 100.000 kaum komune tewas dibunuh dan ribuan lainnya diusir.

Kapitalisme, satu tata nilai sosial yang didasari oleh sistem pekerja-upah, suatu sistem yang terlihat sebagai cara “membayar-kerja”, padahal bersamaan dengan itu, ia sedang “membeli-pekerja”, berkuasa hingga kini. Relevansi-kontekstualnya bisa dilihat di sekeliling kita. Sistem semacam inilah yang kemudian berlaku di setiap sudut permukaan bumi hingga hari ini.

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

(Peringatan)

Berbagai bentuk tekanan yang diberikan oleh militer negara terhadap suara dan perlawanan Thukul, tidak mampu menghentikan langkahnya untuk terus menggugat. Selama sistem busuk yang ada berkuasa, selama itu pula penentangan dan perlawanan akan terus tumbuh. Tebaran teror dan ancaman tidak mampu menciutkan nyali dan semangat perlawanan yang ada.

berminggu-minggu ratusan jam
aku dipaksa
akrab dengan sudut-sudut kamar
lobang-lobang udara
lalat semut dan kecoa

tapi catatlah
mereka gagal memaksaku

aku tak akan mengakui kesalahanku
karena berpikir merdeka bukanlah kesalahan
bukan dosa bukan aib bukan cacat
yang harus disembunyikan

kubaca koran
kucari apa yang tidak tertulis
kutonton televisi
kulihat apa yang tidak diperlihatkan

kukibas-kibaskan pidatomu itu
dalam kepalaku hingga rontok
maka terang benderanglah
:ucapan penguasa selalu dibenarkan
laras senapan!

tapi dengarlah
aku tak akan minta ampun
pada kemerdekaan ini

(Merontokkan Pidato)


hijau hijau
tumbuh lagi
walau kaubabat berulang kali
walau kaubakar berulang kali
hijau hijau
tumbuh lagi
sudah seratus kali kaucabut
kausemburkan api kerusuhan
hijau hijau
tumbuh lagi
harapanku
menaklukkan
ketakutan
yang kauternakkan
lewat pidato
dan laras senapan

aku melihat ilalang
o siasialah
kekuasaan memasang
palang penghalang
ilalang

tetap hidup tumbuh
dan menang

walau seratus kali digaru

(Rumput Ilalang)


aku pernah menyaksikan
banyak orang mendirikan kandang
untuk memelihara harimau
yang mereka hidupkan dari ketakutan
sehingga harimau itu pun
beranak-pinak
di dalam tempurung kepalanya
tapi aku
ogah
memelihara
aku telah membakarnya
dulu
waktu aku bosan
dan tak mau lagi
ditakut-takuti
karena geli
dan hari ini
aku semakin geli
melihat orang-orang kebingungan
karena harimau itu
tak mampu mengaum lagi
mungkin karena capek
sebagai gantinya
di mana-mana
sekarang aku mendengar semakin banyak
suara tawa

tapi
penguasa
risi rupanya
karena itu orang yang berani tertawa
diancam dengan undang-undang subversi
dan hukuman mati
tapi
meskipun para terdakwa
sudah dimasukkan bui
dan diadili
suara tawa itu tak juga kunjung berhenti
meskipun surat kabar radio dan televisi
telah menyiarkan ke seluruh sudut negeri
bahwa tertawa terbahak-bahak
itu liberal
bertentangan dengan budaya nasional
dan merongrong stabilitas negara
karena itu
orang yang berbicara
tertawa
berpendapat
dan berserikat
harus mencantumkan apa azasnya
kalau nekat
tembak di tempat
sekarang
hanya hakimlah yang kelihatannya tak berpura-pura
karena kalau ia ikutan tertawa
akan punahlah harimau

yang tinggal satu-satunya
karena itu
harus ada yang didakwa
dan dipersalahkan
agar tuntutan jaksa
nampak serius
dan tak menggelikan
sebab
kalau seluruh rakyat tertawa
dan buruh-buruh mogok kerja -apa jadinya?

(Harimau)

Tindakan-tindakan negara yang sewenang-wenang terhadap bentuk-bentuk ketidak-senangan terhadap sistem hanya akan melahirkan lebih banyak lagi perlawanan. Kekerasan sebagai bentuk pemaksaan dan arogansi penguasa akan semakin menyulut keberanian kaum tertindas untuk tidak gentar dan bertekuk lutut di bawah ketidakadilan.

kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

(Tanpa Judul)


aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa

puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup

aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa)


Kudongkel keluar
orang-orang pintar
dari dalam kepalaku

aku tak tergetar lagi
oleh mulut orang-orang pintar
yang bersemangat ketika berbicara

dunia bergerak bukan karena omongan

para pembicara dalam ruang seminar
yang ucapnya dimuat
di halaman surat-kabar
mungkin pembaca terkagum-kagum
tapi dunia tak bergerak
setelah surat-kabar itu dilipat

(Mendongkel Orang-Orang Pintar)

TERMUTAKHIR
Puisi terakhir karya Wiji Thukul dalam tulisan ini berjudul Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair. Dari sekian banyak puisi karya Wiji Thukul yang dikutip ke dalam tulisan sederhana ini, kiranya judul terakhir inilah yang menyebutkan banyak relevansi dan kaitan langsung dengan keadaan dan realitas sosial kini. Isu-isu dan kritik sosial yang disuarakannya dalam sajak ini dahulu apabila disesuaikan dengan kehidupan masyarakat sekarang memiliki banyak kesamaan. Isu-isunya belum basi. Tuntutan-tuntutannya masih menunggu untuk dipenuhi. Berbagai fenomena sosial yang terjadi pun banyak kesamaannya. Thukul mampu membaca perkembangan sosial yang terjadi dengan lebih manusiawi.

            lupakanlah itu para kritikus sastra!
biarkan jiwamu berlibur hei penyair
segarkanlah paru-paru dengan pemandangan-
                                                pemandangan baru
pergilah ke parangtritis menikmati gubug-gubug
                                                penduduk yang
menangkap jingking atau makam imogiri berziarah ke
                                                mataram
atau pergi menyelamlah ke keributan jalan raya kotamu
barangkali masih akan kautemukan polisi lalu lintas
                                                yang seperti
maling, berdagang kesempatan dalam pasar lakon
            aku kepingin ngopi di pinggir jalan
            sambil menertawakan sejarah dan kebenaran
            mengisap rokok mbako lintingan
            menatap zaman yang makin mirip kebun
                                                binatang!
begitu panjang riwayat bangsa tetapi hari ini kita baru
                                                pandai memuja
masa lalu, mengelus-elus borobudur mendewakan nilai
                                                ketimuran semu
tetapi sibuk dengan breakdance dan membiarkan
                                    penyelewengan kekuasaan
membangun gedung-gedung melebarkan jalan raya dan
                                    menyingkirkan kaki lima
            iki jaman edan!
bukan! ini bukan zaman edan pak jika kita masih punya
                                    malu pada diri
sendiri dan berhenti mengotori teluk jakarta dengan
                                    kotoran industri
berhenti membabati hutan-hutan kalimantan dan
                                    kemudian kembali kita
ber-sumpah pemuda: Indonesia! satu tanah airku satu
                                    bangsaku satu
bahasaku
pulau kita di ujung sana dan pulau kita di ujung sana
                                    adalah kepulauan kita
bukan lumbung padi jepang cina atau amerika
bangsa kita di ujung sana dan di sudut situ bukan hanya
milik para nelayan yang dibelit hutang juga bukan cuma
                                    milik kaum petani yang
gagal panennya dikhianati kemarau panjang
bukan pula milik satu dua thaoke atau juragan atau
                                                                        cukong!
bahasa kita adalah bahasa indonesia benar - bukan
                                    bahasa yang gampang
dibolakbalik artinya oleh penguasa
            BBM adalah singkatan dari Bahan Bakar Minyak
            bukan Bolak Balik Mencekik
maka berbicara tentang nasib rakyat tidak sama dengan
                                                PKI atau malah dicap
anti Pancasila
itu namanya manipulasi bahasa
            kita harus berbahasa indonesia yang baik dan
                                                benar, kata siapa
            kepada siapa.
biarkanlah jiwamu berlibur hei penyair!
pergi tamasya ke mana saja lepaskan penat
tapi jangan pergi ke taman hiburan jurug di sana malam
                                                sudah jadi tempat
praktik majalah sex
            pergi saja kepada Gesang, katakan bahwa
                                                bengawan Solo
            semakin gawat.
biarkanlah jiwamu berlibur hei penyair!
lupakanlah hirukpikuk dunia pendidikan lupakanlah
                                    jumlah spanduk universitas
swasta yang ditawarkan tahun ajaran baru ini lupakanlah
                                                barisan penganggur
yang berbaris lulus dari bangku SMA
ya tinggalkan sementara waktu dunia lakon kita ini
baharui kembali Cinta di hati.

(Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair)

Kalau demikian, keadaan kini dan keadaan ketika Wiji Thukul menuliskan puisi-puisinya tidaklah berbeda. Di sekitar kita masih tumbuh subur tata nilai sosial yang sama dimana dulu Thukul berada. Bahkan mungkin keadaan kini telah menjadi lebih buruk. Apa yang menjadi pencapaian Thukul lewat puisi-puisinya dahulu boleh jadi bertujuan mengingatkan kita akan bahaya yang bersembunyi dalam sistem sosial yang sedang berlangsung. Semua 'tidak' baik-baik saja dahulu, kini pun masih sama.

Wiji Thukul, sosok 'yang hilang' dalam tata nilai sosial yang ada kini, telah meninggalkan jejak kepenyairan yang memberikan warna bukan hanya pada kekayaan kesusastraan, tetapi juga mengemas gagasan dan spirit perlawanan terhadap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi. Suara-suara Thukul dalam puisi-puisinya cukup jelas menggambarkan jiwa kerakyatannya yang memahami benar gagasan seni kerakyatan di tengah arus modernitas semu yang hanya dinikmati sebagian individu. Sebagai sebuah simbol gerakan perlawanan menentang penidasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya, seni yang diusung Thukul seharusnya mampu menggugah kesadaran setiap kita untuk tidak tinggal diam dan apatis terhadap keburukan tata nilai sosial di sekitar kita. Terhadap segala bentuk penindasan yang terjadi, maka hanya ada satu kata: lawan!


Dimanuga
Yogyakarta - Solo, Oktober 2011


Rujukan Tulisan:
(1)   Kumpulan Puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru, penerbit Indonesiatera Magelang, April 2004.
(2)   Das Kapital Untuk Pemula, David Smith & Phil Evans, penerjemah Ugoran Prasad, penerbit Insist Press Yogyakarta.
(3)   Marxisme Untuk Pemula, Rupert Woodfin & Oscar Zarate, penerbit Resist Book Yogyakarta, Maret 2008.

Lampiran:
Berikut isi pamflet yang disebar bersama aksi yang terjadi di Yogyakarta seperti yang dimaksud di awal tulisan:
Negara - Korporasi - Polisi - Militer adalah teroris sebenarnya. "Pemberontakan sosial akan terus berlanjut karena mentari terus bersinar".
Kali ini kami mengatakan, bahwa apa yang kami lakukan merupakan puncak dari semua kegelisahan serta kemarahan kami terhadap sistem yang sedang berjalan ini.
Sistem yang memberhalakan uang, sistem yang merecoki keseharian masyarakat dengan televisi, agar mereka membeli barang-barang yang tak mereka perlukan agar mereka terus bekerja seperti mesin.
Sistem yang mengharuskan kami beserta masyarakat lainnya tidak memiliki kendali atas hidup kita sendiri. Sistem yang lainnya menguntungkan borjuis, para pebisnis, dan para birokrat negara yang menjadi sekutu setianya.
Bagi kami semua, ini bukan saatnya untuk diam, bukan saatnya untuk tenang menonton acara didepan televisi dan berkata bahwa "semua baik-baik saja".
Untuk setiap penindasan di Papua Barat. Untuk setiap Penindasan di Kulon Progo. Untuk setiap penindasan bersejarah di Aceh. Untuk setiap penindasan di Wera, Bima. Untuk setiap penggusuran dan perampasan lahan di Talakar dan Pandan Raya di Makasar.
Untuk setiap penindasan terhadap kawan-kawan kami yang berjuang. Untuk Tukijo dan para kombatan sosial yang mendekam di penjara hanya karena berjuang mempertahankan hak hidupnya. Untuk setiap konsensi hutan yang akan menghancurkan setiap keanekaragaman hayati mengatasnamakan uang dan bisnis!
Dan untuk setiap penjara yang seharusnya terbakar rata dengan tanah! Maka selama negara dan kapitalisme masih eksis, TAK PERNAH AKAN ADA KATA DAMAI ANTARA MEREKA YANG TAK BERPUNYA DENGAN MEREKA YANG BERPUNYA.
Penyerangan terhadap pusat-pusat finansial: atm, bank, gedung korporat adalah target yang penting, karena mereka adalah salah satu kolaborator yang menyebabkan penderitaan di muka bumi ini. Ini bukanlah terorisme karena kami tidak mengadvokasikan untuk menyerang orang-orang.
Terorisme adalah peperangan antar negara. Terorisme adalah beras dan pangan di dapurmu yang semakin menipis. Terorisme adalah bajingan berseragam yang membawa senjata kemana-mana. Terorisme adalah pembantaian orang-orang tak berpunya.
Maka kami mengatakan: sudah cukup! Dan ini juga untuk kalian! Para kombatan yang tak pernah surut untuk berjuang di luar sana, meski kalian harus mendekam di jeruji besi karena keyakinan kalian akan kebebasan: Conspiracy cell of fire (Yunani), kombatan Chile: Tortuga! Lives on! Gabriel Pombo da Silva, Thomas Meyer Falk (Germany) Polikarpus Georgiadis, Revolutionary Straggle! Salut bagi kombatan Manado, Makassar, dan Bandung, kalian adalah inspirasi ditengah ketidakberdayaan masyarakat akan hidup mereka yang semakin tidak menentu dan tak berdaya.
"Biarkan api menyala dalam kegelapan!" Long Live Luciano Tortuga Cell - International Revolutionary Front - FAI